Kamis, 30 April 2020

Jalur kereta api Lubuk Alung–Naras–Sungai Limau

Jalur kereta api Lubuk Alung–Naras–Sungai Limau adalah jalur kereta api yang menghubungkan Stasiun Lubuk Alung dan Stasiun Naras; termasuk dalam Divisi Regional II Sumatra Barat. Secara administratif, jalur ini berada di wilayah Kabupaten Padang Pariaman dan Kota Pariaman, Sumatra Barat.

Jalur ini merupakan salah satu jalur kereta api yang masih aktif sampai saat ini, kecuali untuk segmen Naras–Sungai Limau.
Peta jalur kereta Pariaman-Padang

Lok uap (steam locomotive) bersama rangkaian campuran melintas langsung di Lintas Lubuk Alung - Pariaman. Sumber: IRPS
Jalur ini merupakan paket kedua pembangunan jalur kereta api milik Staatsspoorwegen ter Sumatra's Westkust. Dengan suksesnya jalur Padang–Sawahlunto dan Padangpanjang–Payakumbuh, maka SSS mulai mencoba merambah daerah lainnya di Sumatra Barat. Untuk menghubungkan Kota Padang dengan Kota Pariaman, dibuatlah sebuah jalur kereta api. Jalurnya dimulai dari Lubuk Alung dan berakhir di Pariaman. Jalurnya selesai pada tanggal 9 Desember 1908 dan dilanjutkan menuju Naras dan Sungai Limau pada tanggal 1 Januari 1911. Segmen Naras-Sungai Limau ditutup saat zaman penjajahan Belanda dikarenakan ambruknya jembatan di lintas tersebut dan jalur tersebut sudah dibongkar. Meskipun sudah dibongkar, stasiun kereta apinya sebagian masih utuh dan lahannya masih dikuasai oleh PT KAI.

Stasiun Naras beserta jalur yang menuju stasiun tersebut sudah selesai reaktivasi beserta stasiunnya, dengan bangunan yang lebih baru dan modern serta menonjolkan ciri khas Minangkabau, yaitu rumah gadang. Awalnya direncanakan hanya untuk angkutan CPO namun kereta api Sibinuang  diperpanjang menuju stasiun tersebut. Sejak tanggal 22 Maret 2019, stasiun tersebut, bersama jalur segmen Pariaman–Naras resmi dibuka kembali.

Jalur Rel Segmen Lubuk Alung - Pariaman

Panjang segmen 21 km yang meliputi 4 stasiun aktif dan 5 stasiun non aktif. Jalur ini diresmikan pada tanggal 9 Desember 1908 oleh Staatsspoorwegen ter Sumatra's Westkust. Saat ini jalur kereta Lubuk Alung - Pariaman masih menggunakan rel R33 dengan kecepatan operasi 25-60 km/jam.

Stasiun Lubuk Alung

Stasiun Lubuk Alung (LA) merupakan stasiun kereta api kelas II yang terletak di Lubuk Alung, Lubuk Alung, Padang Pariaman. Stasiun yang terletak pada ketinggian +25 meter ini termasuk dalam Divisi Regional II Sumatra Barat.

Stasiun ini adalah stasiun percabangan menuju Padang, Pariaman, dan Sawahlunto; percabangan berada sekitar 285 m di sebelah utara stasiun. Letak stasiun ini ada di belakang pasar. Stasiun ini memiliki lima jalur kereta api dengan jalur 2 merupakan sepur lurus arah Duku-Padang dan Kayu Tanam-Padangpanjang-Sawahlunto serta jalur 3 merupakan sepur lurus dari dan ke arah Pariaman-Naras, tetapi jalur 5 sudah lama dinonaktifkan.




KA Sibinuang berhenti di Stasiun Lubuk Alung

Stasiun Palembayan
Tidak banyak informasi yang didapat mengenai stasiun yang berlokasi di Kecamatan Palembayan, Kabupaten Pariaman ini. Stasiun berkode PBY berada di km 42+300.

Stasiun Sintuk
Sintuk adalah sebuah nagari yang berada di wilayah Kecamatan Sintuk Toboh Gadang, Kabupaten Padang Pariaman, Provinsi Sumatra Barat, Indonesia. Minimnya informasi terhadap stasiun non aktif berkode STK sehingga bentuk dan peninggalan bangunan tidak diketahui. Stasiun Sintuk berada di km 43+689.

Stasiun Toboh Gadang
Toboh Gadang adalah sebuah nagari yang berada di wilayah Kecamatan Sintuk Tobih Gadang, Kabupaten Padang Pariaman. Minimnya informasi terhadap stasiun non aktif berkode TOG sehingga bentuk dan peninggalan bangunan tidak diketahui. Stasiun Sintuk berada di km 46+118.

Stasiun Pauh Kambar

Halte Pauh Kambar (PAK) merupakan halte kereta api yang terletak di Pauh Kambar, Kecamatan Nan Sabaris, Padang Pariaman. Halte yang terletak pada ketinggian +22 m ini termasuk dalam Divisi Regional II Sumatra Barat.



Halte ini awalnya memiliki dua jalur kereta api dengan jalur 2 merupakan sepur lurus. Namun, karena jalur 1 terlalu pendek, jalur 1 dicabut dan jalur 2 menjadi satu-satunya jalur. Halte ini tidak memiliki persinyalan. Halte ini hanya dibuka pada saat melayani kedatangan dan keberangkatan para penumpang KA lokal saja.

Hanya satu layanan kereta api yang berhenti di halte ini, yaitu KA Sibinuang.

Stasiun Sungai Laban
Stasiun Sungai Laban masih berada di Kecamatan Nan Sabaris. Minimnya informasi terhadap stasiun non aktif berkode SGN sehingga bentuk dan peninggalan bangunan tidak diketahui. Kemungkinan besar lokasi nya berdekatan dengan Pasar Sungai Laban. Stasiun Sungai Laban berada di km 51+786.

Stasiun Kurai Taji

Halte Kurai Taji (KI) merupakan halte kereta api yang terletak di Kota Pariaman tepatnya di Balai Kurai Taji, Pariaman Selatan, Pariaman. Halte yang terletak pada ketinggian +15 meter ini termasuk dalam Divisi Regional II Sumatra Barat. Halte ini berada tak jauh dari pasar tradisional Kurai Taji yang dikenal dengan Los Lambuang Balai Kurai Taji sebagai pusat kuliner.

Stasiun ini dibangun tahun 1920. Pembukaan atau pembuatan Stasiun Kurai Taji ini didasarkan kepada kebutuhan masyarakat yang terkait dengan pendistribusian kopra di Pariaman. Dengan adanya stasiun kereta api di Kurai Taji, maka Kurai Taji menjadi salah satu pengumpul kopra di Pariaman. 

Pada Zaman era SSW, stasiun ini digunakan sebagai tempat distribusi alam karena disini terdapat pusat perdagangan kopra dan terdapat pabrik minyak kelapa sekitar 150 meter dari stasiun. Kini pabrik minyak kelapa tersebut sudah tidak ada.

Stasiun ini cukup menarik karena masih menggunaan ejaan lama yaitu Kurai Tadji. Bentuk bangunannya khas kolonial dengan kombinasi kayu dan batu bata dan beratap genting. 




Stasiun ini semula hanya memiliki dua jalur kereta api dengan jalur 2 merupakan sepur lurus, tetapi jalur 1 dicabut karena terlalu pendek dan tidak memiliki persinyalan, sehingga kini hanya tinggal satu jalur. Halte ini hanya dibuka pada saat melayani kedatangan dan keberangkatan para penumpang KA lokal saja.

Hanya satu layanan kereta api yang berhenti di halte ini, yaitu Sibinuang.

Stasiun Cimparuh
Cimparuh adalah salah satu desa di Kecamatan Pariaman Tengah, Kota Pariaman, Sumatra Barat, Indonesia. Minimnya informasi terhadap stasiun non aktif berkode CIP sehingga bentuk dan peninggalan bangunan tidak diketahui. Stasiun Cimparuh berada di km 57+514.

Stasiun Pariaman

Stasiun Pariaman (PMN) merupakan stasiun kereta api kelas II yang terletak di Jalan Pangeran Diponegoro Kampung Pondok I, Pariaman Tengah, Pariaman. Stasiun yang terletak pada ketinggian +2 meter ini termasuk ke dalam Divisi Regional II Sumatra Barat. Stasiun ini terletak hanya 20 m dari bibir pantai.

Stasiun ini memiliki tiga jalur kereta api dengan jalur 1 merupakan sepur lurus. Tidak seperti stasiun-stasiun lainnya di Divre II Sumbar yang menggunakan persinyalan mekanik Siemens & Halske manual, stasiun ini sama-sama menggunakan persinyalan mekanik tetapi menggunakan sistem Alkmaar yang hanya memiliki satu sinyal lengan untuk sinyal masuk serta seluruh wesel menggunakan tuas penggerak wesel manual yang berada di dekat setiap wesel dan pengaturannya tidak terpusat. Uniknya lagi, handel persinyalan tersebut terbuat dari kayu dan dipasang sejak 1979.

Sebenarnya ke arah utara dari stasiun ini masih terdapat jalur rel yang menuju ke Naras dan berakhir di Sungai Limau, tetapi sejak tahun 1998 jalur ke Naras sempat dinonaktifkan, sedangkan yang ke Sungai Limau sendiri sudah lama dinonaktifkan sejak zaman penjajahan Belanda. Dahulu biasa digunakan untuk angkutan CPO. Jalur ini masuk dalam masterplan reaktivasi dari Kemenhub, tetapi hanya sampai Naras.

Hanya satu layanan kereta api yang berhenti di stasiun ini, yaitu Sibinuang.

Stasiun Pariaman
KA Sibinuang di Stasiun Pariaman. Foto:Maulana Nur
Segmen Pariaman - Naras - Sungai Limau

Panjang segmen jalur ini sejauh 14 km yang meliputi 2 stasiun aktif dan 2 stasiun non aktif. Jalur ini diresmikan pada tanggal 1 Januari 1911 untuk segmen Pariaman – Naras dan segmen Naras – Sungai Limau tahun 1917 dan ditutup pada tahun 1998. 

Reaktivasi jalur KA antara Pariaman-Naras yang dimulai pada tahun 2015 oleh Ditjen Perkeretaapian yang dibiayai melalui APBN sebesar Rp 51,9 Milyar. Pekerjaan reaktivasi tersebut berupa penggantian rel R25 bantalan kayu dengan R54 bantalan beton sepanjang 6,7 Km, peningkatan persinyalan, peningkatan fasilitas persinyalan, pembangunan 11 jembatan dan modernisasi Stasiun Naras. 

Peresmian Stasiun Naras dan perpanjangan lintas pelayanan kereta api antara Padang-Pariaman sepanjang 6,7 km dari total panjang Rel KA di Sumatera Barat sepanjang 304 Km dilakukan oleh Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi pada tanggal 22 Maret 2019.

Reaktivasi jalur kereta api dari Stasiun Pariaman ke Stasiun Naras sepanjang hampir 7 kilometer merupakan yang kedua diselesaikan di Sumatera Barat dari total program reaktivasi perkeretaapian sepanjang 213 KM. Reaktivasi pertama telah diselesaikan dan dioperasikan sepanjang 27 KM (Lubuk Alung-Kayu Tanam dan Pariaman-Naras). 

Bersamaan dengan pengoperasian segmen Pariaman – Naras ini, juga dilakukan integrasi lintas pelayanan dan jadwal dari 3 lintas pelayanan KA penumpang di Sumatera Barat yaitu KA Sibinuang, KA Lembah Anai dan KA Minangkabau Ekspress. Untuk lintas pelayanan KA Sibinuang, selain diperpanjang lintas pelayanannya, dari yang sebelumnya lintas Padang – Pariaman yang kemudian menjadi Padang – Pariaman – Naras, juga akan terintegrasi jadwal dengan layanan KA Lembah Anai di Stasiun Lubuk Alung dan di Stasiun Duku dengan KA Minangkabau Express. Sedangkan layanan KA Lembah Anai juga akan mengalami perpanjangan lintas pelayanan dari yang semula Stasiun Kayu Tanam - Stasiun Lubuk Alung menjadi Stasiun Kayu Tanam - Stasiun Lubuk Alung – Stasiun Bandara Internasional Minangkabau.

Reaktivasi jalur KA Hampir 30 tahun aktivitas kereta api ke Naras. Terakhir dipergunakan tahun 1998. Sebelum penghentian jalur ini ke Naras ini, stasiun ini berfungi sebagai lokasi transit pengangkutan hasil kelapa sawit dari Pasaman Barat. Sejak itu jalur ditutup, maka perjalanan KA dipotong hanya sampai Pariaman untuk angkutan penumpang.

Penggunaan Stasiun kereta api melalui jalur ini, Pemerintah kolonial Belanda kemudian membangun jalur jalan kereta yang menghubungkan kota‐kota di darek dan di pantai, sejauh Naras di utara Pariaman sebagai kota Pelabuhan Pariaman dan Tiku menjadi titik perdagangan garam. 

Pariaman zaman dulu adalah kota pelabuhan. Sebagai kota pelabuhan, semua jenis komoditas yang menjadi hasil bumi ada di Pariaman. Garam merupakan salah satu komoditas yang dihasilkan dari bumi Pariaman sebagaimana dalam biografi Muhammad Saleh, Prof. Mestika Zed menuliskan: “Pariaman sejak zaman kuno sebetulnya adalah penghasil garam utama. Tidak hanya untuk dataran tinggi darek melainkan juga untuk diekspor sampai ke Aceh. Desa-desa sepanjang pantai Pariaman, terutama Naras dan Tiku di sebelah utara Pariaman, atau Ulakan dan Jambak di selatan, adalah penghasil garam utama di kawasan ini”. Garam menjadi komoditas utama yang bersanding dengan kopi, kapur barus (kamper), kemenyan, lada, beras, kayu manis, gambir, kulit hewan ternak, getah karet, minyak kelapa, dan kopra. Usaha yang dilakukan pengelola untuk meningkatkan sarana angkutan kereta api dengan mendatangkan lokomotif baru dan jalur Padang-Naras juga dioperasikan dengan menggunakan 4 lokomotif baru. 

Walaupun masih menggunakan kereta penumpang dan gerbong yang rata-rata telah berumur 70-90 tahun. Selain itu, pada tahun 1978 telah didatangkan 6 unit lokomotif diesel. Usaha ini merupakan terobosan utama oleh perusahan kereta api untuk tetap mengaktifkan jalur pariaman dan naras agar kerjasama dengan PTPN IV Pasaman untuk mengangkut minyak sawit mentah melalui Naras, Pariaman ke pelabuhan Teluk Bayur.

Menurut rencana pengelola untuk melayani jalur Batu Tabal-Solok dan tambahan jalur Padang-Naras. Lokomotif ini hanya dapat digunakan untuk jalur kereta api yang tidak bergerigi. Usaha ini belum memenuhi pendapatan kereta api karena hanya terbatas pada trayek yang tidak bergerigi dibgaimana yang ditulis oleh Rustian Kamaluddin, Perkembangan Dan Pembangunan Sarana Perhubungan Dalam Pembangunan Regional.

Menurut Kepala Balai Teknik Perkeretaapian Kelas II Wilayah Sumatera Barat Suranto Ato , walaupun pengoperasian kereta Api saat ini masih dari Stasiun Padang menuju Naras, pengoperasian kereta api dari Naras ke Sungai Limau direncanakan dilakukan pada tahun 2022.

Rencananya tahun 2020 dilakukan studi pengoperasian kereta api dari Naras ke Sungai Limau dilanjutkan pada tahun 2021 akan dilakukan penertiban lahan yang dilewati jalur kereta api dari Naras ke Sungai Limau.

Stasiun Apar
Apar adalah sebuah desa yang berada di wilayah Kecamatan Pariaman Utara, Kota Pariaman. Minimnya informasi terhadap stasiun non aktif berkode AP sehingga bentuk dan peninggalan bangunan tidak diketahui. Stasiun Apar berada di km 64+353.

Stasiun Naras

Stasiun Naras (NRS) atau juga disebut Stasiun Nareh adalah stasiun kereta api kelas III/kecil yang terletak di Jalan Prof. Dr. Hamka Padang Birik-birik, Pariaman Utara, Pariaman. Stasiun yang terletak pada ketinggian +4 m ini termasuk dalam Divisi Regional II Sumatra Barat. Walaupun diberi nama Naras, stasiun ini secara administratif tidak terletak di Nagari Kota Naras I ataupun Nagari Kota Balai Naras, tetapi terletak di sebelah utara kedua nagari kota itu sendiri. Stasiun ini memiliki tiga jalur kereta api dengan jalur 2 merupakan sepur lurus.

Stasiun Kereta Api Naras terdiri dari 3 bangunan yaitu Depo, Stasiun dan Gudang dikutip dari laporan hasil Pendataan dan pemutakhiran data cagar budaya Kota Pariaman tahun 2017.

Stasiun Naras dahulu
Stasiun Kereta Api Naras dibangun sekitar tahun 1900-an dan diresmikan pada 1 Januari 1911 dan ditutup pada tahun 1998 setelah angkutan barang CPO dihentikan.

Mulai 6 Maret 2019 stasiun ini merupakan terminus dari jalur kereta api Lubuk Alung–Pariaman, tetapi sebenarnya masih ada jalur menuju Sungai Limau yang sudah lama dinonaktifkan sejak zaman penjajahan Belanda. Dahulu, stasiun ini pernah melayani angkutan barang CPO, tetapi semenjak layanan tersebut sudah tidak ada lagi sejak 1998 seiring dengan tutupnya perusahaan kelapa sawit pada waktu itu, otomatis stasiun ini sempat dinonaktifkan.

Lokomotif BB 303 72 01 yang digunakan untuk uji coba ke Naras | picture by: KPKD2SB
Saat ini stasiun ini sudah selesai direnovasi dengan bangunan baru yang lebih modern. Rencananya angkutan CPO akan dihidupkan lagi dengan rute hingga menjangkau stasiun ini. Stasiun beserta jalur tersebut telah resmi dioperasikan pada 22 Maret 2019. Perjalanan kereta api Sibinuang yang semula berawal dan berakhir di Stasiun Pariaman, akhirnya resmi berawal dan berakhir di stasiun ini.

Daerah Naras merupakan salah satu nagari yang dilalui oleh jalur kereta api. Kondisi nagari Naras sebagai pemasok Garam untuk daerah pedalaman tentu suatu pertimbangan untuk pembuatan jalur kereta api. Daerah Naras merupakan daerah paling utara dari Rangkaian rel kereta api di Pariaman. 

Melihat dari Peta lama rel kereta api di Sumatera Barat sampai ke Sungai Limau posisi Stasiun Naras sangatlah penting sebagai stasiun transit untuk perdagangan sebagaimana dikutip dari buku menikam jejak kereta api Sumatera Barat. Sedangkan bangunan Depo Stasiun baru dibangun tahun 1976.

Bangunan utama stasiun Kereta Api Naras berada ditengah-tengah antara kedua bangunan pendukung lainnya. Bangunan utama stasiun memiliki ukuran 20 x 8 meter. Bangunan pendukung tersebut antara lain di sisi selatan merupakan bangunan depo dan di sisi utara berupa bangunan gudang. Bagian sisi barat dari stasiun terdapat tiga buah sepur. Bangunan stasiun terdiri dari tiga ruang, antara lain lorong yang berfungsi juga sebagai ruang tunggu dan tempat pembelian tiket, di sisi utara merupakan ruangan kantor sekaligus berfungsi sebagai tempat penjualan tiket, dan di sisi selatan merupakan ruang traksi atau ruang mekanik. Atap berupa limasan dengan bahan terbuat dari genteng dan kerangka atapnya terbuat dari kayu. Bagian dinding tersusun oleh bata berplester dengan kerangka terbuat dari kayu.

Selain dari bangunan inti stasiun, stasiun kereta api naras juga dilengkapi dengan rumah dinas sebanyak 2 bangunan, yang barada pada sisi utara dan barat. Rumah Dinas ini berfungsi sebagai rumah kepala stasiun dan rumah petugas stasiun. Luas Situs Bangunan 148,01 meter² dan luas Lahan 25 m x 300 m (6.000 m²). Menurut Laporan Hasil Daftar Pemutakhiran Data Cagar Budaya Kota Padang Pariaman Tahun 2018. Balai Pelestarian Cagar Budaya Sumatera Barat Wilayah Kerja Provinsi Sumatera Barat, Riau dan Kepulauan Riau Stasiun Kereta Api Naras sudah terinventaris di Balai Pelestarain Cagar budaya dengan noomor 06/BCB-TB/A/07/2007

Stasiun Sungai Limau
Sungai Limau adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Padang Pariaman. Minimnya informasi terhadap stasiun non aktif sehingga bentuk dan peninggalan bangunan tidak diketahui. Stasiun Sungai Limau berada di km 74.

Layanan Kereta Api 
KA Dang Tuanku

Kereta api Dang Tuanku adalah kereta api yang melayani Padang-Pariaman PP. Kereta api ini adalah kereta api wisata, dan membantu tugas kereta api Sibinuang. Namun kereta api ini berjalan hanya hari Sabtu, dan Minggu. Setiap perjalanannya kereta api ini membawa 5 kereta. Kereta api ini dioperasikan oleh PT. Kereta Api Indonesia dan beroperasi di wilayah Divisi Regional II Sumatra Barat. Sejak 2015, kereta api ini berhenti beroperasi secara reguler.
KA Dang Tuanku Padang - Pariaman PP dengan rangkaian Nippon Sharyo
KA Sibinuang
KA Ekonomi Sibinuang ini beroperasi sejak tahun 2008 yang layanan awal kereta api ini berkapasitas 320 penumpang yang terdiri dari 5 kereta AC ekonomi yang melayani koridor Padang – Pariaman. dengan klasifikasi 1 kereta lokomotif (kepala) dan 5 kereta penumpang.

Kereta api Sibinuang merupakan kereta api penumpang lokal kelas ekonomi AC yang dioperasikan oleh PT Kereta api Indonesia (Persero) Divisi Regional II Padang yang melayani rute Padang-Naras dan KA ini berada di bawah kendali Divisi Regional II Sumatra Barat. Kereta api ini merupakan salah satu dari sedikit layanan kereta api penumpang yang dioperasikan di sana bersama dengan kereta bandara Minangkabau Ekspres dan bus rel Lembah Anai.

Kereta api ini melaksanakan perjalanan Padang-Pariaman 4 kali pergi-pulang (pp) dalam satu perjalanan sehari dengan tarif Rp5.000,00.

Sejak akhir 2015 kereta api ini sudah berhenti di halte-halte kereta api di Kota Padang yang sudah dibangun pada saat itu. Mulai 22 Maret 2019, relasi kereta api Sibinuang diperpanjang hingga Stasiun Naras seiring dengan selesainya reaktivasi jalur Pariaman-Naras.

Berikut ini adalah susunan rangkaian KA Sibinuang:

1 lokomotif BB303
5 kereta ekonomi AC (K3 2009 PD dan/atau K3 PD ex RK)
1 kereta makan pembangkit (KMP3 2009 PD dan/atau KP3 PD ex RK)

KA Sibinuang












Sabtu, 18 April 2020

JEJAK KERETA API DI PASAMAN BARAT

Tidak banyak masyarakat di Sumatera Barat mengetahui bahwa sebelum kemerdekaan jalur kereta api di provinsi itu tidak hanya ada di Kota Padang, Bukittinggi, Padang Panjang, Payakumbuh, Solok, ataupun Sawahlunto, daerah seperti Pasaman Barat juga pernah memiliki model transportasi darat tersebut.

Dari arsip sejarah diketahui bahwa moda transportasi tersebut pernah ada dan tercatat beroperasi pada tahun 1939 dengan jenis Kereta api Lokomotif dimana jalur yang dilalui mulai dari Sasak, menuju areal Perkebunan Ophir Nagari Koto Baru menuju areal kebun teh tanang Talu.

Tampak gerbong tanki CPO di area Pabrik Kelapa Sawit Ophir cikal bakal PTPN 6
Kepala Bidang Pengelolaan Arsip Pasbar Yuli Asra mengatakan jalur perkeretaapian pertama kali dibangun oleh Pemerintahan Belanda pada masa itu tepatnya di Nagari Sasak pada tahun 1939 silam.

Adapun kereta api yang dibangun pemerintahan Belanda pada tahun 1939 silam jenis kereta api yang dibangun yakni kereta api lokomotif dengan rute dari Sasak- Ophir menuju lokasi areal kebun teh Tanang Talu Kecamatan Talamau.

Dari informasi yang diperoleh pembangunan jalur kereta api lokomotif di Pasbar tahun 1939 digunakan oleh kolonial Belanda diketahui sebagai transportasi pembawa hasil sumber daya alam yang ada di sepanjang jalur kereta api.

Sementara itu, Kepala Dinas Kearsipan dan Perpustakaan Pasbar Evita Murni mengatakan terkait adanya sejarah rute kereta api lokomotif di Pasbar belum diperoleh data valid berapa panjang rute jalur kereta api maupun berapa lama kereta api lokomotif tersebut beroperasi pada masa itu. Namun hingga saat ini sejarah rute kereta api lokomotif yang pernah ada di Pasbar tinggal sejarah dan arsip yang tinggal itupun tidak lengkap keberadaanya.

Ia menjelaskan, hingga saat ini kita masih terus menggali informasi pada pihak - pihak yang mengetahui dokumentasi bahwa Pasaman Barat dulunya memiliki rute dan jalur kereta api yang pernah aktif pada zaman Belanda. sebagai bukti rute tersebut pernah ada di areal perkantoran PT.PN 6 masih terdapat satu gerbong depan kereta api lokomotif yang masih bisa kita lihat di areal perkebunan Ophir sariak Nagari Koto Baru.

Menurutnya, pada Dinas Kearsipan Pasbar dokumentasi sejarah yang masih tersimpan rapi dan utuh terkait rute dan jalur kereta api lokomotif yakni berupa pajangan foto peletakan batu pertama pembangunan kereta api di Sasak dan Pembangunan Jembatan untuk jalur kereta api melalui Batang Ampu. dalam keterangan foto tertulis dalam Bahasa Belanda "Aanleg Railbaanen Langs Den Sasakwegs 1939" dan kita tidak mendapat informasi penting siapa orang yang mendokumentasikan foto tersebut hingga sekarang masih belum diketahui asal usulnya.

Meski pernah memiliki kereta api lokomotif, namun sayang itu tinggal cerita dan arsip, sebab saat ini bantaran rel maupun tempat berhenti kereta api tidak lagi ditemukan sebagai buktinya daerah ini pernah memiliki model transportasi darat tersebut.

Bantalan rel kereta api pada zaman belanda terbuat dari jenis kayu besi atau lebih dikenal dengan sebutan kayu ikia , namun sesuai perkembangan zaman bukti - bukti bantaran rel kereta api tersebut tidak dapat ditemukan lagi, disebabkan hilangnya bantaran rel kereta api beserta besi diduga karena dicuri oleh masyarakat diperkirakan tahun 1980 an.

Rabu, 01 April 2020

JALUR REL SEMPIT DI PEDALAMAN RIMBA BENGKULU


Tahukah kamu bahwa pucuk emas di Monumen Nasional (Monas) Jakarta, berasal dari suatu desa terisolir, Lebong Tandai, Kecamatan Napal Putih, Kabupaten Bengkulu Utara, pedalaman Provinsi Bengkulu. Bongkah emas itu dibawa oleh seorang pengusaha terkemuka asal Aceh bernama Teuku Markam di era Presiden Soekarno, sebagai bagian dari proyek pembangunan Monas pada 1959 silam.

Desa Lebong Tandai pernah menjadi kawasan primadona di wilayah Nusantara. Jauh sebelum perusahaan tambang emas Freeport berkuasa, harumnya komoditas emas sudah tercium lebih dahulu dari wilayah barat Indonesia itu. Pemerintah kolonial Belanda menyadari  betul potensi alam ini, meskipun Lebong Tandai berada di pedalaman dan sulit dijangkau. Tak salah bila Lebong Tandai dijuluki sebagai Batavia Kecil, karena  posisinya yang amat penting dalam menunjang perekonomian pemerintah kolonial.

Jauh sebelum Belanda datang, masyarakat sekitar sudah mengenal Lebong Tandai sebagai Svarnadwipa atau Pulau Emas. Wilayah ini menjadi lebih kesohor  lantaran Alex L. ter Braake, penulis buku Mining in the Netherlands East Indies (1944), menuliskan bahwa pada tahun 1910, sebuah perusahaan tambang emas asal Belanda, Mijnbouw Maatschappij Simau, memutuskan untuk mengelola tempat itu menjadi area operasional.


Di tahun itu pula, perusahaan yang baru berumur  sembilan tahun tersebut membuat terowongan dan rel kereta sebagai bagian dari konstruksi pertambangan. Mereka menjadi perusahaan pertama yang melakukan eksploitasi emas secara besar-besaran di Nusantara.

Rata-rata setiap tahun tambang emas Lebong Tandai menghasilkan 1 ton emas. Pada 1937, misalnya, produksi emas Lebong Tandai mencapai 1.095.538 gram.Periode 1900-1940 menjadi masa keemasan tambang ini, karena mampu memproduksi 72 persen dari semua emas Netherlands East Indies yang totalnya mencapai 123 ton. Secara keseluruhan, ada tiga lokasi emas yang mereka kelola yaitu di Air Nuar, Lebong Tandai dan Karang Suluh.

Lebong Tandai adalah kota kecil yang mewah untuk ukuran zaman itu. Mijnbouw Maatschaappij Simau membangun beberapa fasilitas seperti lapangan tenis, lapangan basket, rumah sakit, rumah bola (billiard), hingga rumah bordil yang popular dengan sebutan rumah kuning.

Pembangunan fasilitas rumah bordil bahkan ditiru oleh PT Lusang Mining, perusahaan asal Australia yang menguasai wilayah ini pada tahun 1980-an, agar para pekerja tak mengajak keluarga tinggal di mess karyawan.

Bentuk Kereta bermesin Diesel milik PT Lusang Mining yang membuka pertambangan di Desa Lebong Tandai pada tahun 1980-an/internationalsteam.co.uk
Pada zaman Belanda, segala fasilitas ini sengaja dibangun untuk memenuhi kebutuhan para pekerja tambang yang kebanyakan didatangkan dari Jawa, sekaligus para petinggi dan pasukan keamanan Belanda.

Tak hanya itu, pemerintah Belanda juga kerap mendatangkan penari ronggeng dari Jawa sebagai hiburan. Hal ini dibuktikan dengan nama sebuah jembatan menuju Lebong Tandai yaitu jembatan Dam Ronggeng I dan Ronggeng II. Kemudian tambang emas ini juga sempat dikuasai Jepang  pada 1943 hingga 1945 ketika negeri Matahari Terbit itu, mendarat di Tanah Air sebelum akhirnya diambil alih pemerintah baru Indonesia.

Emas dari Lebong Tandai terkenal dengan sebutan emas si molek, karena alat pengangkut emas atau lori di Lebong Tandai dinamai si molek. Kereta angkut ini berjalan di atas rel sekitar 33,5 km menuju tambang.

Jalur kereta api (garis hitam) dalam peta lama Bengkulu. Sumber: http://legacy.lib.utexas.edu/
Penggunaan lori diperlukan karena jalur ini sangat rawan longsor. Jalur ini diapit oleh dinding tebing setinggi 25 meter dan bibir sungai yang curam. Sehingga memerlukan alat angkut yang dinilai tepat dan aman, tempat pengolahannya pun masih sederhana. Para penambang menggunakan gelundung yang berbentuk silinder, panjang diameternya mencapai 30 cm dan terbuat dari pelat baja.

Rel lori, saat itu untuk mengangkut emas dari Desa Air Tenang hingga Desa Lebong Tandai. Rel itu sendiri dibangun oleh Belanda tahun 1904 an. Namun, setelah Indonesia Merdeka, Belanda meninggalkan Desa Lebong Tandai tahun 1947. Jaringan rel angkutan tambang dibangun Belanda tahun 1904-an dengan melibatkan warga asli Lebong Tandai melalui sistem kerja paksa. Waktu itu, warga menggunakan Lori Kodok dalam arti kereta kecil yang menggunakan tenaga manusia dengan cara mendorong. Terakhir lori tambang emas beroperasi sekitar tahun 1947-an seiring Kerajaan Belanda mengakui kedaulatan NKRI. Setelah Belanda meninggalkan Lebong Tandai, Lori milik Belanda masih digunakan warga untuk transportasi menuju ke pusat kecamatan dan mengangkut bahan pangan serta hasil penambangan emas.

Seiring perjalanan waktu, pada tahun 1997 lori yang selama ini digunakan warga diubah menjadi Molek. Molek yang mampu mengangkut sampai 12 penumpang itu diciptakan oleh Wan Tanggang, warga asli Lebong Tandai. Molek menggunakan mesin diesel 10 PK untuk memutar roda lori yang dihubungkan dengan rantai berukuran besar. "Molek menggunakan mesin diesel ex copotan mobil bekas. 

Perjalanan dengan menggunakan Molek menuju Lebong Tandai dilakukan sore hari yaitu sekitar pukul 17.00 WIB hal ini guna menghindari terjadinya tabrakan dikarenakan Molek dari Lebong Tandai tiba di Napal Putih pukul 16.00 WIB. Mengingat jalur rel hanya satu, jika terpaksa bertemu dengan Molek yang lain yang berlawanan arah atau ada Molek yang macet dijalan maka salah satu Molek dapat disingkirkan keluar rel, cukup hanya dengan tenaga 3 orang Molek itu dapat diangkat keluar rel. Biasanya, para "Masinis" Molek memilih untuk berjalan beriringan, hal ini dimaksudkan untuk mempermudah perjalanan jika ada hambatan. Perjalanan menjelang hari mulai gelap ini, memberi kesan tersendiri bagi mereka yang menyukai wisata alam karena kita hanya bisa melihat hutan dikanan kiri dan Molek yang berjalan didepan atau dibelakang Molek yang kita tumpangi.

Sebelum tiba di Desa Lebong Tandai, penumpang akan melewati areal yang dinamakan Ronggeng, Sumpit, Lobang Batu, Muaro Lusang. Lalu menyusuri rel yang membelah hutan sambil menikmati bunyi-bunyian binatang malam, melintasi kawasan yang bernama gunung tinggi, kuburan cina, sungai landai, terowongan lobang panjang, lobang tengah dan terowongan lobang pendek.

Salah satu sudut Desa Lebong Tandai atau Batavia Kecil di Kabupaten Bengkulu Utara
Jembatan rel di Desa Lebong Tandai
Sebelum tiba di desa Lebong Tandai kita akan melewati 3 terowongan yaitu lobang panjang, lobang tengah dan lobang pendek. Terowongan lobang panjang itu memiliki panjang sekira 100 Meter, sementara lobang tengah memiliki panjang sekira 50 meter dan terowongan lobang Pendek dengan panjang sekira 25 meter. Setelah melewati berbagai terowongan itu penumpang akan tiba di desa Lebong Tandai. Di mana perjalanan dari stasiun Air Tenang hingga pusat desa Bata. Pemandangan desa ini pada malam hari mengingatkan kita pada suasana kehidupan para penambang di film-film Hollywood yang mengambil latar kehidupan tambang.

Semua orang pasti akan takjub bercampur kagum betapa tidak, setelah melewati perjalanan selama 3,5 jam, yang pemandangannya hanya hutan, tiba-tiba didepan kita terbentang sebuah desa yang penuh dengan nuansa modern. Listrik yang terang benderang dan tak pernah mati memancar dari setiap rumah dan sudut desa, dan hampir ditiap rumah memiliki pesawat TV walaupun ukuran kecil. Alat elektronik seperti TV, Radio dan sejenisnya adalah salah satu hiburan bagi masyarakat yang hidup didaerah terpencil ini.

Berbicara tentang hiburan memang tradisi itu sudah cukup lama tertanam dimasyarakat. Pantas saja, dengan posisi terpencil dan jauh dari dunia luar, perusahaan Mijnbouw Maatschappij Simau milik Belanda tahun 1910 masuk ke Lebong Tandai dan menguasai tambang ini dibangun kamar bola (tempat bermain billyard), lapangan basket, lapangan tenis, rumah kuning (rumah bordil/lokalisasi) dan bioskop. Hanya bioskop dan rumah kuning yang bangunannya sudah tidak ada lagi.

Kecelakaan

Motor Lori Ekspress (Molek) peninggalan Belanda yang aktif digunakan warga Desa Lebong Tandai, sebagai kendaraan keluar masuk dari pelosok hutan menuju Kecamatan Napal Putih, Senin malam, 4 September 2017, tergelincir ke jurang.

Meski tidak ada korban jiwa malam itu, sedikitnya 16 orang yang hendak menuju Desa Lebong Tandai mengalami luka-luka. Diduga penyebab kecelakaan karena rel molek sudah keropos mengakibatkan molek keluar jalur rel.


Kondisi ini diperparah dengan track yang ekstrim di antara jurang dan tebing. Miris, ketika rel molek putus akibat longsor dibeberapa titik, Desa Lebong Tandai, Napal Putih, Bengkulu Utara jadi terisolir. Karena, molek atau kereta kecil itu merupakan satu-satunya sarana transportasi dari dan ke kawasan tambang emas, Lebong Tandai.

Rel molek yang tertimbun longsor maupun yang patah akibat longsor memang sudah diperbaiki warga. Namun, kondisi relnya sudah memprehatinkan. Ketika longsor, warga desa terpaksa jalan kaki keluar maupun ketika pulang ke desa.

Lokomotif Molek

Molek atau Motor Lori Ekspress, satu-satunya angkutan umum untuk menuju Desa Lebong Tandai dari Desa Air Tenang, Kecamatan Napal Putih, Kabupaten Bengkulu Utara, begitu juga sebaliknya.

Molek tak seelok namanya. Bentuknya mirip dengan kotak peti kemas. Namun lebih kecil, sekira 3x1 meter. Seluruh rangka dan atapnya dari kayu yang menyelubungi besi bekas lori kereta beroda empat. Molek ini memiliki 4 roda besi dengan jarak masing-masing sumbu roda sekira 1,25 Meter. Panjang badannya tidak kurang dari 6 Meter dengan lebar badan Molek sekira 1,5 Meter.

Roda Kereta Molek
Untuk menjalankan Molek dipandu seorang Masinis. Di mana Masinis mengoperasikan serta mengatur kecepatan mesin diesel. Namun, tidak bisa mengatur Molek untuk berbelok. Kecepatan Molek pun hanya kisaran 10-15 km/jam. Sebab Molek juga memiliki 6 gigi, termasuk gigi mundur. Bahkan, setiap Molek terdapat setir second, gas injak yang dimodifikasi dan rem prodo.

Moda transportasi Molek juga dilengkapi bak komling dari mobil Suzuki Futura atau bak mobil Zebra. Di mana Molek tersebut sama halnya dengan mobil lainnya yang memiliki gigi. Bagi warga, Molek bisa dipergunakan untuk apa pun. Mulai dari mengangkut orang, hewan, dan barang bahkan sampai gelondongan kayu panjang yang berdiameter sampai setengah meter.


Tak diketahui persis siapa yang memberi nama Molek. Namun, kendaraan yang mengandalkan rel atau tram sebagai lintasannya ini telah berumur lebih dari seabad untuk rangka lori dan relnya yang mengular sepanjang 33 kilometer menembus pedalaman hutan Lebong Tandai.

Transportasi ini melewati jalur sejauh 35 kilometer dari Air Tenang sampai dengan Lebong Tandai dengan waktu tempuh rata-rata selama lebih kurang 4,5 jam. Molek berangkat pada pukul 07.00 WIB dari Stasiun Air Tenang hingga Stasiun Ronggeng. Saat ini tidak banyak molek yang beroperasi. Biasanya transportasi ini berangkat berdasarkan pesanan. Pesanan biasanya datang dari masyarakat Lebong Tandai yang ingin keluar desa untuk membeli kebutuhan pangan. Penumpang harus membayar Rp 25.000 per orang, di luar barang bawaan. Itu pun biayanya sampai di Stasiun Ronggeng saja. Untuk menaiki molek tujuan Sumpit, warga juga dikenai biaya yang sama. Jadi, untuk satu kali perjalanan dari Air Tenang ke Lebong Tandai, ongkos per orang mencapai Rp 100.000.

Molek bukanlah yang pertama ada di Lebong Tandai. Sejatinya, molek lahir dari keterbatasan warga di pelosok hutan sepeninggal Belanda dan sebuah perusahaan milik Australia yang mengeruk habis emas di tanah mereka.

Kereta Api Uap milik perusahaan Mijn Maatschappij Simau-Belanda pada tahun 1910 ketika membuka tambang emas di Desa Lebong Tandai Bengkulu Utara/internationalsteam.co.uk
Dahulunya, ketika Belanda masuk ke perut hutan di Kecamatan Napal Putih Bengkulu Utara untuk berburu urat emas pada tahun 1901. Akses jalan yang paling memungkinkan untuk menyesuaikan topografi daerah hanyalah kereta api. Fungsinya untuk mengangkut emas dan orang. Karena itu, ribuan kuli dari Jawa dipaksa membuat rel kereta yang melipir bukit, menyeberang sungai bahkan menembus batu hingga sepanjang 33 kilometer dari Desa Air Tenang hingga ke Desa Lebong Tandai.


Kala itu, mengutip dari dokumen internationalsteam.co.uk, pada masa Belanda atau tepatnya pada tahun 1910, usai pembangunan rel, setidaknya ada lebih dari 12 kereta api yang dipergunakan mereka sebagai alat transportasi barang dan orang. Namun sayang, semuanya hilang tanpa bekas lantaran dijarah penduduk ketika Belanda diusir Jepang pada tahun 1949. Sampai kemudian di tahun 1980, masuklah kembali perusahaan milik Australia yang bernama PT Lusang Mining.

Oleh mereka, transportasi kemudian dihidupkan kembali. Tak ada laporan rinci berapa banyak kereta yang dimiliki perusahaan yang juga berelasi dengan Presiden Soeharto kala itu. Untuk orang, emas dan barang berbeda. Cuma yang jelas Lusang Mining sudah memakai lokomotif bermesin Diesel atau Lodis (Lokomotif Diesel) bukan uap seperti Belanda dulu. Tapi sekali lagi disayangkan. Ketika Lusang Mining bangkrut pada tahun 1995, sejumlah kereta itu pun juga ikut hilang dijarah oleh penduduk. Dokumen foto terakhir mengenai bentuk kereta itu hanya ada pada tahun 2012, yang diambil oleh seorang warga Belanda Gerard de Graaf. Foto itu jugalah yang kini tersimpan dalam laman internationalsteam.co.uk.


Sejak hilangnya PT Lusang Mining memang muncul praktik vandalisme warga dengan menjarah sebagian besar besi kereta untuk dijual kembali. Yang tersisa, akhirnya cuma segelintir rangka lori beserta rodanya. Dari situlah kemudian ada beberapa warga mencoba memodifikasinya dengan menanamkan mesin mobil di bagian tengahnya. Lalu untuk memutar roda besi kereta dipergunakanlah dua rantai besar yang terhubung dengan gear. Dari situlah kemudian muncul istilah Molek.

Kehadiran molek pada awalnya cuma iseng, sisa kereta lama di modifikasi sehingga bisa jalan, akhirnya jadilah seperti sekarang (molek). Sejauh ini, Molek dengan segala keterbatasannya akhirnya menjadi satu-satunya andalan warga untuk bepergian ke Napal Putih. Dengan lintasan rel sepanjang 33 kilometer yang sudah memprihatinkan, Molek pun tertatih-tatih. Setidaknya butuh waktu antara 4-6 jam hanya untuk bisa mencapai Desa Lebong Tandai dari Napal Putih. Itu pun bergantung dengan kondisi cuaca. Sebab jika hari hujan, sering terjadi longsor atau pohon tumbang. Sehingga membuat waktu perjalanan makin lama.




Jangan berharap kenyamanan lebih ketika menumpang Molek. Sebab dengan ukurannya yang mini, membuat semuanya mesti dibuat nge-pas. Penumpang misalnya, hanya mampu membawa maksimal 12 orang. Sepuluh untuk penumpang dan sisanya buat sopir dan kernet.

Kursi duduknya terbuat dari papan panjang yang dibungkus kulit dan busa seadanya. Malah kadang-kadang cuma papan saja dengan penumpang saling membelakangi. Molek tidak memiliki kaca jendela pelindung di samping kiri dan kanannya. Kecuali bagian depan.Itu pun gunanya untuk melindungi penumpang di bagian depan sopir ketika Molek menerobos lintasan rel yang kini banyak tertutup duri dan semak menjuntai. Hebatnya Molek. Sopirnya tidak di depan, jadi di tengah.

Selain itu, karena jarak kursi yang begitu dekat, jadi tidak ada cukup ruang untuk merenggangkan kaki. Apalagi buat penumpang yang berbadan jangkung akan jadi hal yang lebih merepotkan.
Sebab dengan atap molek yang rendah. Maka suka tidak suka sepanjang perjalanan, kepala terpaksa agak membungkuk hingga tiba di tujuan.

Belum lagi soal kebisingan. Mesin Molek yang merupakan modifikasi mesin mobil berbahan bakar solar posisinya persis berada di tengah Molek atau tepatnya di bawah kaki penumpang. Karena itu bisa dipastikan suaranya sangat berisik dan membuat panas kaki mereka yang duduk berdekatan.
Namun demikian. Apa pun itu, Molek tetaplah menjadi kendaraan termewah di Lebong Tandai. Kebisingan dan kecemasan ketika Molek melintas rel yang rusak sementara jurang-jurang dalam di bawahnya, menjadi pengalaman tak terlupa siapa pun yang berkunjung ke desa yang dijuluki sebagai Batavia Kecil ini.

Besar harapan warga setempat agar ada jalan alternatif ke Lebong Tandai. Dengan itu, maka keterisoliran desa lumbung emas ini akan terbuka. Molek yang selama ini menjadi andalan, bagi mereka sudah tidak memungkinkan lagi. Besi-besi roda dan rel kereta itu kini makin uzur dan sudah berbahaya untuk dilintasi. Namun karena belum ada pilihan akhirnya duduk di Molek yang berdekatan dengan maut itu pun jadi pilihan.

Stasiun Lebong Tandai


Lebong Tandai adalah wilayah pertambangan emas yang masih beroperasi hingga kini. Sejak periode kolonial Belanda, wilayah ini sudah diekploitasi. Hal ini dibuktikan dengan adanya bangunan yang dibuat pada 1921.


Kereta Molek saat memasuki Stasiun Lebong Tandai
Desa yang berbatasan langsung dengan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) ini masuk daerah yang tak bertuan, tidak ada atas hak yang syah bagi masyarakat sebagai penghuni desa. Sejak disahkan sebagai desa dengan total luasan lebih kurang 2.300 Ha, Area peruntukan lain (APL) sampai dengan sekarang tidak ada pemilik yang pasti.

Emplasemen Stasiun Lebong Tandai
Hampir seluruh warga yang tinggal di Lebong Tandai mendiami perumahan eks perusahaan tambang mulai dari tambang jaman Belanda (Mijnbouw Matschappij Simau), perusahaan tambang rakyat, PT Lusang Mining sampai dengan PT Lebong Tandai.


Stasiun Ronggeng


Stasiun Ronggeng merupakan stasiun tempat transit penumpang untuk pergantian kereta molek. Dari desa keberangkatan, Air Tenang ke Stasiun Ronggeng, penumpang mesti membayar Rp25 ribu. Lalu dari Ronggeng ke Lebong Tandai bayar lagi dengan harga serupa.

Proses pergantian kereta penumpang di Stasiun Ronggeng

Jangan bayangkan tempat ini seperti stasiun kereta di Jakarta atau dimana pun. Sebab bentuknya hanya sebuah tanah lapang di tengah hutan dengan dua bangunan terbuat dari papan untuk tempat sekadar berteduh menunggu molek pengganti.

Mengenai nama Ronggeng. Muasalnya karena tanah lapang ini pernah digunakan oleh Belanda pada masa lalu untuk menonton seni tari Ronggeng bersama para pekerja dan warga. Dari situlah muncul nama Stasiun Ronggeng, yang kini berfungsi sebagai tempat transit penumpang.


Stasiun Molek (Air Tenang)

Stasiun Molek (sebutan bagi kereta lori berukuran 5 x 1 m, bermesin diesel 10 PK yang bermuatan maksimal 10 penumpang) merupakan lokasi keberangkatan kereta molek di Desa Air Tenang, Kecamatan Napal Putih, Bengkulu Utara. Stasiun ini terletak diujung desa, dipinggir Sungai Ketahun. 

Stasiun Air Tenang.
Banyak Molek yang menunggu penumpang namun rata-rata terminal ini ramai pada hari Senin dan Kamis karena pada hari itu para penambang dari luar Kabupaten Bengkulu Utara misalnya dari Kabupaten Lebong dan Rejang Lebong berdatangan menuju desa Lebong Tandai. Ongkos per-orang adalah Rp 20.000. 

Di stasiun Air Tenang, para ‘Masinis’ Molek menunggu penumpang hingga penuh. Selain itu, perjalanan menuju Batavia Kecil Masinis memilih berjalan beriringan. Tujuannya, untuk mempermudah perjalanan jika ada hambatan.

Jaringan Rel Tambang di Lebong Denok

Kabupaten Lebong merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Bengkulu yang beribukota di Muara Aman. Kawasan ini dikelilingi barisan Taman Nasional Kerinci Sebelat (TNKS). Dari sinilah pusat penghasil emas dan eksploitasi pertambangan di Bengkulu dimulai. Perburuan emas di Lebong, dilakukan jauh sebelum kedatangan kolonial Belanda. Perburuan emas telah dilakukan oleh Raja Paga Ruyung Sultan Daulat Mahkota Alamsyah untuk mencari daerah baru yang tanahnya mengandung emas bisa jadi menjadi factor utama yang menjadikan Raja Mawang yang berdarah Minang memerintah Lebong meskipun di ceritakan hanya dalam waktu yang singkat sebelum digantikan oleh Ki Karang Nio. 

Dominasi kelompok elite dalam hal ini raja dalam penguasaan emas tergerus ketika Perusahaan tambang Belanda, mulai melakukan kegiatan penambangan di Bengkulu setelah ditemukannya formasi Lebong pada tahun 1890. 

Penambangan emas tertua di antaranya dilakukan oleh perusahaan Mijnbouw Maatschappij Redjang Lebong dan Mijnbouw Maatschappij Simau yang berada di Lebong, Bengkulu. Kedua perusahaan itu merupakan penyumbang terbesar ekspor emas perak Hindia Belanda. Misalnya, pada tahun 1919 perusahaan Mijnbouw Maatschappij Redjang Lebong menghasilkan 659 kilogram emas dan 3.859 kilogram perak, dan perusahaan Mijnbouw Maatschappij Simau menghasilkan 1.111 kilogram emas dan 8.836 kilogram perak.

Setidaknya, dua perusahaan ini berhasil meraup 130 ton emas selama berproduksi kurang dari setengah abad (1896-1941). Jejak-jejak sisa penambangan yang dilakukan Belanda di Bengkulu masih dapat ditemui di Ulu Ketenong, Tambang Sawah, Lebong Donok, Lebong Simpang, Lebong Tandai, Kabupaten Lebong.

Sama halnya dengan Lebong Tandai, Area pertambangan di Lebong Denok dihubungkan dengan jaringan rel sempit. Bahkan, lokomotif yang digunakan sudah ada yang menggunakan tenaga listrik. Sayang informasi mengenai jaringan rel disini sangat minim berbanding terbalik dengan jalur rel Lebong Tandai yang masih digunakan warga hingga kini.

Lokomotif listrik sudah digunakan dalam jaringan rel Lebong Denok
Area Pertambangan Lebong Denok


#lebongtandai #lebongdenok #airnapal #lebong #sejarahbengkulu #tambangemasbengkulu #molek #lori #keretatambang #bengkulu #MijnbouwMaatschappijSimau #MijnbouwMaatschappijRedjangLebong #MiningintheNetherlandsEastIndies #LusangMining #relsempitindonesia