Rabu, 12 Desember 2018

SEJARAH JALUR KERETA ACEH part 2

Pembangunan Jalur Kereta Kutaraja, Banda Aceh

Sejarah jalur KA yang menghubungkan Aceh dan Sumatera Utara dimulai saat Penaklukan Belanda di Wilayah Kesultanan Aceh pada akhir Abad ke 18. transportasi kereta api di Aceh yang dibangun Belanda sebatas untuk mengangkut logistik perang dan para serdadu menyusuri Pantai Pesisir Timur Aceh.. Tapi lambat laun, penumpang sipil pun diangkut.

Gubernur Militer Hindia Belanda untuk Aceh dan daerah taklukannya pada tanggal 26 Juni 1874, memerintahkan untuk menghubungkan demarkasi pelabuhan Ulee Lheue dan Kutaraja dengan rel KA sepanjang 5 Km. Rel KA pertama kali dibuka pada tahun 1876 yang menghubungkan Ulee Lheue-Kutaraja, sepanjang 4 Km dengan lebar spoor (gauge) 1.067 mm.
Lintasan KA Aceh. Foto : Tropen Museum
Pada tanggal 12 Agustus 1876, jalan KA Ulee Lheue resmi dibuka untuk umum dengan menghabiskan biaya sebesar 540.000 gulden. Ulee Lheue berada di bibir pantai barat Banda Aceh. Jalur ini terdiri dari empat stasiun, yaitu Stasiun Ulee Lheue, Deah-Baro, Pasar Atjeh dan berakhir di Stasiun Koeta Radja (Kutaraja). 
Emplasemen Stasiun Indrapoeri dijaga ketat oleh pasukan Belanda. Foto: Tropen Museum
Enam tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1882, jalan rel dipersempit menjadi 750 mm. Dengan lebar spoor tersebut, pembangunan jalan rel kemudian diteruskan ke Glee Kameng (Indrapuri). Jalur ini membentang antara Stasiun Kutaraja, Tandjoeng, Lam-Baroe, Lam-Bari, Sibreh, Samahani, dan Indrapoeri.
Stasiun Gle jong, Aceh jaya. Foto;Tropen Museum
Namun dengan alasan keamanan, pembangunan rel hanya mampu mencapai Lambaro pada tahun 1885. Lebar spoor kemudian dikurangi menjadi 0,75 m dengan panjang 16 Km. Tahun 1886, pembangunan rel dibuka dari Kutaraja-Lamnyong.

Sebuah jalur dari Tongah ke Pekan Kr. Cut dan rumah sakit militer Pante Pirak juga turut dibuat. Jalur ini digunakan untuk membawa orang luka dan sakit dari pos militer ke luar Aceh. Bulan Januari 1898, jalur kereta api diperpanjang hingga mencapai Seulimuem sepanjang 18 km dengan tambahan empat stasiun yaitu, Keumiroe, Lam-Pakoe, Lam-Pisang dan Seulimueum. Jalur ini dimanfaatkan untuk lalu lintas umum.


Rencana penyambungan jalan kereta api dari Seulimeum ke Pidie mulai dicanangkan Van Heutsz, Gubernur militer Belanda  di Aceh pada tahun 1898. Rencana Van Heutsz ini berkaitan erat dengan ekspedisi-ekspedisi militer yang dijalankannya ke berbagai derah Uleebalang baik ke Pidie, pantai utara atau pantai timur.

Stasiun Kutaraja 

Stasiun Kutaraja, Banda Aceh. Foto: Tropen Museum
Stasiun Kutaraja berada di Kota Banda Aceh, berjarak 6 km dari pangkal awal rel dermaga Ulee Lheue. Letak Stasiun Kutaraja yang persis di depan Masjid Raya Baiturrahman yang kini hanya tersisa sebuah tugu kecil setinggi sekitar 1 meter, yang menandakan pernah ada stasiun KA di Banda Aceh. Meskipun Masjid Raya Baiturrahman berdiri megah, Stasiun Kutaraja tinggallah kenangan saja.


Tugu penanda Stasiun Kutaraja dibangun kembali pasca bencana tsunami melanda Propinsi Aceh pada 2004. Tim BRR (Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi) Aceh pasca tsunami membangun tugu sebagai tanda pernah ada perkeretaapian di Aceh. Lahan perkeretaapian bekas Stasiun Kutaraja saat ini dimanfaatkan oleh Pemerintah Kota Banda Aceh untuk ruang terbuka hijau, utamanya penghijauan kota, sehingga lingkungan di depan Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh menjadi hijau dan asri.
Monumen Atjeh Tram di Banda Aceh.
Dahulu, di dekat Stasiun Kutaraja juga terdapat Depo Lokomotif yang kini sudah berubah fungsi menjadi Mall Barata dengan sistem sewa lahan. Saat ini di depan Mall juga dipajang sebuah lokomotif uap dan gerbong buatan tahun 1912

Jalur KA Sigli-Lhokseumawe
Tahun 1900, Gubernur Van Heutzs merencanakan perluasan jalur kereta api Seulimuem-Sigli-Lhokseumawe. Untuk memenuhi ambisinya, Van Hautsz yang berkunjung ke Batavia (Jakarta) dan berhasil menyakinkan pejabat pemerintah Hindia Belanda di sana tentang arti penting pembangunan jalan kereta api di sepanjang pantai utara dan timur Aceh. Menurutnya, pembangunan kereta api itu tidak saja menunjang tujuan-tujuan militer tetapi juga akan sangat menunjang politik “pasifikasi” yang dijalankan pemerintah Belanda di Aceh melalui perbaikan perekonomian rakyat. Selain itu perbaikan sarana jalan ini juga dapat dipergunakan untuk menarik minat penanaman  modal asing ke daerah Aceh.

Rencan Van Heutsz ini mendapat persetujuan dari pemerintah Belanda di Batavia dengan pemberian angaran  untuk perpanjangan jalan kereta api antara Sigli  ke Lhok Seumawe pada tahun 1900. Berhubung jalan utama kereta api ini harus melalui kenegerian Samalanga yang pada waktu itu masih melakukan perlawanan  yang keras terhadap kekuasaan Hindia Belanda barulah pada tahun 1904 jalan kereta api itu berhasil dibangun. Dari jalan utama itu suatu cabang dari Beureunuen ke Lammeulo berhasil dibangun pada tahun 1913.

Biaya ditaksir untuk membangun jalur ini sebesar 3 juta golden, biaya terbesar untuk membuat lintasan di pegunungan yang sangat berat. Tanggal 15 September 1903 jalur Beureneuen–Lameulo sepanjang 6 km siap dikerjakan dan dibuka untuk umum.
Jalur ini juga dibangun depo kereta di Sigli untuk memperbaiki sarana lokomotif dan gerbong.
Jalur petak antara Seulimuem-Sigli-Lhokseumawe terdiri dari 54 stasiun dan halte yaitu;

Seulimueum, Lam-barotoenoeng, Lam-tamot, Blang-Garoet, Wissel Waterscheiding, Aloer Tapa, Padang Tidji (+75km), Beurabo, Karieng, Grong-grong, Peukan Pidie, Sigli (+90), Tidjoee, Bambi, Seupeng, Tjaleue, Lampoih Saka, Beureunun (+100), Keuda Blang Malo, Gloempang Minjeu, Teupin-Raja, Loeeng-Poetoe, Moesa, Paroe, Pante-Radja, Peudoee, Pangwa, Meureudoe (+130), Keude-Oelim, Keude Djangka Boeja, Samalanga, Blang Koeta, Tamboee, Pandrah, Djounieb, Keude Plimbang, Boeging, Peudada, Tjot Lorieng, Bladeh, Bireuen (+180), Tjot Bada, Matang Gloempangdoea, Keuda Kroeeng Pandjoe, Keude Kotta Blang, Leubo, Garoegoe, Kroeeng Mane, Dakoeta, Boengkaih, Kroeeng Geukoeeh, Blang Poelo, Laos Kala, Puekan Tjoenda (+230) dan Lhokseumawe (+235).

Jalur KA di Padang Tidji. Foto: Tropen Musuem
Lintasan KA di Pidie. Foto: Tropen Museum
Jembatan KA di Peudada, Bireuen yang rusak diterjang banjir. Foto: Tropen Muesum
Stasiun Bireuen. Foto: Tropen Museum
Jalur KA Beureunuen-Lammeulo


Dari jalur KA utama Sigli-Lhokseumawe terdapat suatu percabangan rel dari Beureunuen ke Lammeulo yang dibangun pada tahun 1913 setelah bertahun-tahun tersendat pembangunannya akibat perlawanan dari pejuang Aceh asal Kenegrian Samalanga.
Peresmian jalur KA beureneuen-lameulo sepanjang 6 km. Foto: Tropen Museum

Jalur KA Lhokseumawe-Kuala Simpang

Hanya tiga tahun sejak perluasan jaringannya ke Sigli (luar Aceh Besar), 1898, jaringan kereta api Aceh sudah mencapai Idi (Aceh Timur), dan dua tahun kemudian (1903) sudah memasuki Langsa.

Pembangunan rel KA kemudian dilanjutkan hingga Kuala Simpang (1910) sepanjang 185 km. Jalur KA petak Lhokseumawe-Kuala Simpang memiliki 51 stasiun dan halte.
Jalur KA di Pase, Aceh Utara. Foto: Tropen Museum
Jembatan KA di Blang Me, Aceh Timur. Foto: Tropen Museum
Modernisasi jembatan KA di Blang Me, Aceh Timur. Foto: Tropen Museum
Emplasemen Stasiun Langsa. Foto: Tropen Museum
Jalur KA Kuala Simpang - Besitang

Jalur ini kemudian diteruskan menembus wilayah Sumatera utara sampai Besitang hingga jalur berakhir di Pangkalan Susu pada tahun 1912 sejauh 40 km. 
Jembatan KA yang bersisian dengan jalan raya di Temiang. Foto: Tropen Museum
Jalan rel di Aceh dengan segala rintangan pada masa itu, dapat diselesaikan dengan rentang waktu kurang lebih 40 tahun dan panjangnya sekitar 551 km.
Pada tahun 1912, pertemuan jalur kereta api lintasan Deli Pangkalan Berandan-Aceh dimulai. Jalur kereta api Langsa-Kuala Simpang resmi dibuka untuk umum.
Selanjutnya, pemerintah Hindia Belanda berusaha menghubungkan kereta api Aceh dengan kereta api Deli (Deli Spoor) yang jaringannya berakhir di Pangkalan Brandan (Sumatera Timur). Usaha ini direalisasikan dengan pembangunan rel dari Langsa ke Kuala Simpang (1910), Kuala Simpang ke Sungai Liput (1914), dan kemudian mencapai Besitang (1915). Dengan mencapai Besitang, panjang jaringan kereta api Aceh 450 km, dan sekaligus telah terhubung dengan kereta api Deli yang juga telah membuka jaringannya sampai Besitang.

Bersambung...!!!




Selasa, 11 Desember 2018

SEJARAH JALUR KERETA ACEH Part 1

Peta lama Jalur KA Aceh-Sumut 
Proyek pembangunan jalur kereta api Medan-Aceh yang terus dikebut pemerintah sudah mulai masuk wilayah Aceh Tamiang.

Dari desain yang dirancang Balai Teknik Perkeretaapian Wilayah Sumbagut, rel terusan dari Besitang, Sumatera Utara, ini akan melewati empat desa di Kecamatan Kejuruanmuda, Aceh Tamiang.

"Saat ini kami sedang melakukan sosialisasi rencana pembangunan jalur kereta api dengan masyarakat, karena akan ada lahan warga yang akan dibebaskan untuk proyek ini," kata Kepala Bagian Pemerintahan Pemkab Aceh Tamiang, Sepriyanto, Senin (8/10/2018).

Sosialisasi ini dilangsungkan di Kantor Camat Kejuruanmuda dengan dihadiri seluruh warga yang lahannya akan diberi ganti rugi.

Balai Teknik Perkeretaapian Wilayah Sumbagut yang diwakili Maulizan, mengatakan proyek ini ditargetkan selesai 2020.

Sebagai tahap awal, rel kereta api yang dibangun melayani rute Sungailiput-Besitang. Stasiun Besitang sendiri terhubung ke Binjai dan Medan.
"Ini bagian dari program trans Sumatera. Ke depannya kereta api Aceh akan tersambung hingga Lampung," kata Maulizan.

Dari jalur Sungailiput-Besitang ini, akan menghubungkan jalur KA Aceh Lhokseumawe-Langsa-Besitang sepanjang lebih kurang 417,541 km.

Saat ini jalur kereta yang sudah terhubung adalah dari Medan-Binjai-Besitang di Provinsi Sumatera Utara. Sedangkan yang baru beroperasi adalah jalur kereta Medan-Binjai.

Menurut data Balai Teknik Perkeretaapian Sumatera Bagian Utara (BTPSBU), jalur KA yang menghubungkan Aceh dengan Sumatera Utara tersebut akan melintasi 8 kabupaten/kota di Aceh dan 1 kabupaten di Sumatera Utara.

Rinciannya adalah Kabupaten Pidie sepanjang 57,05 km, Kabupaten Pidie Jaya 38,43 km, Kabupaten Bireuen 64,93 km, Kabupaten Aceh Utara 59,06 km, Kota Lhokseumawe 16,8 km, Kabupaten Aceh Timur 82,1 km, Kota Langsa 37,39 km, Kabupaten Aceh Tamiang 39,66 km dan Kabupaten Langkat, Sumatera Utara sepanjang 22,09 km.
Anak-anak melintas di rel kereta api kawasan Desa Geulumpang Sulu Barat, Kecamatan Dewantara, Kabupaten Aceh Utara, Foto : Serambinews.com/Nurul Hayati
Sebanyak 95 persen merupakan jalur baru dan hanya 5 persen yang menggunakan jalur lama. BPTSBU sendiri sedang menyiapkan lahan dengan lebar 50 meter agar bisa dibangun jalur ganda (double track).

Rincian lainnya adalah luas lahan yang harus dibebaskan (land clearing) sekitar 1.650,99 hektare dengan estimasi volume timbunan 1.320.000 meter kubik, estimasi volume galian 120.000 meter kubik.

Sepanjang jalur tersebut akan dibangun 40 stasiun (1 stasiun kelas I, 1 stasiun kelas II dan 38 stasiun kelas III), depo, rumah sinyal dan pos jaga perlintasan serta 8 perlintasan tidak sebidang.

Untuk Jalur Sungaliput-Besitang sendiri, terdiri dari track sepanjang 35 km meliputi Kampung Sungai Liput, Tanjung mancang, Simpang kanan dan kampung Pangkalan. jalur yang dibebaskan sepanjang 5,8 Km terdiri dari lahan masyarakat dan HGU PT Desa jaya serta PTPN 1. jalur ini nantinya akan dibangun dua stasiun, yaitu Stasiun Sungai Liput dan Stasiun Karang Jadi.

Diketahui, proyek pembangunan rel kereta api trans Sumatera ini merupakan program yang dicanangkan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono melalui program Masterpan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Indonesia (MP3EI). 

Sebenarmya, Pascareformasi 1998, BJ Habibie presiden kala itu mengeluarkan janji politik kepada masyarakat Aceh. Salah satu janjinya menghidupkan kembali  jalur kereta api. Pasca janji tersebut, pada tahun 2002 dibuatlah Rencana Umum Pengembangan Kereta Api Sumatera, yang merupakan hasil kesepakatan Gubernur se-Sumatera.

Program Perkeretaapian Aceh merupakan bagian dari program Trans Sumatera Railway Development. Pembangunan jalan kereta api Aceh dianggap solusi tepat saat ini dan juga di masa depan, di mana angkutan kereta api ini bersifat massal, murah, aman dan efektif. Pembangunan kembali jaringan pelayanan kereta api Aceh diyakini memberikan dampak positif bagi masyarakat khususnya masyarakat Aceh.

Pelayanan tersebut akan semakin membuka dan menghubungkan kota-kota di Aceh dengan kota-kota di Sumatera Utara. Lintas jaringan tersebut juga nantinya akan terhubung dengan jaringan baru yang menghubungkan kota-kota di provinsi Riau, Sumatera Barat, Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu dan Lampung dalam satu kesatuan sistem Trans Sumatera Railway.

Program ini disiapkan pemerintah dengan bantuan konsultan asing Mott McDonald dan SNCF Internasional. Pembangunan jalan kereta api Aceh dianggap solusi tepat saat ini dan juga di masa depan, di mana angkutan kereta api ini bersifat massal, murah, aman dan efektif. Pembangunan kembali jaringan pelayanan kereta api Aceh diyakini memberikan dampak positif bagi masyarakat khususnya masyarakat Aceh.

Pelayanan tersebut akan semakin membuka dan menghubungkan kota-kota di Aceh dengan kota-kota di Sumatera Utara. Lintas jaringan tersebut juga nantinya akan terhubung dengan jaringan baru yang menghubungkan kota-kota di provinsi Riau, Sumatera Barat, Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu dan Lampung dalam satu kesatuan sistem Trans Sumatera Railway.

Pada 1998 melalui dana APBN murni dibangun kembali relnya di kawasan Aceh Tamiang. Pembangunan rel yang sudah dibangun sepanjang 32 km dilaksanakan hingga 2004. Proyek ini dihentikan akibat musibah tsunami yang kemudian dilanjutkan lagi pada 2007.

Tetapi apa lacur, beberapa jalur yang sudah mulai dibangun seperti jalur di lintasan Kabupaten Bireuen menuju Lhokseumawe sepanjang 14 kilometer, dibongkar karena dinilai mengganggu lintasan jalan raya yang akan dilebarkan.

Sepanjang pantai utara dan timur Aceh, mulai dari Banda Aceh sampai Besitang, masih dapat kita lihat bekas rel kereta api, yang merupakan tanah milik PJKA. Di satu bagian, dari Lhokseumawe ke Bireuen, malahan sudah mulai dibangun kembali jaringan kereta api dalam sepuluh tahun terakhir walaupun hasilnya belum sesuai dengan harapan masyarakat.



Kereta Dalam Masa Perlawanan Rakyat Aceh

Aceh merupakan wilayah terakhir yang ditaklukkan Belanda dalam upaya memperluas hegemoni imperialisme mereka di nusantara (Pax-Neerlandica). Penaklukan Aceh baru dilakukan pada 1873 setelah proses negosiasi untuk pengakuan kedaulatan Belanda atas wilayah Kesultanan Aceh ditolak oleh Sultan Aceh. Proses penaklukan Aceh yang awalnya diperkirakan oleh Belanda akan dapat dilakukan dengan mudah ternyata yang terjadi sebaliknya.

Perang Aceh berlangsung sangat lama, alot, menghabiskan biaya yang sangat besar, dan memakan korban yang sangat banyak dari kedua belah pihak. Malahan, pimpinan ekspedisi penaklukan pertama Belanda, Jenderal Kohler, terbunuh dalam Perang Aceh.

Rakyat Aceh menganggap perang dengan Belanda bukan hanya perang melawan dominasi asing atas wilayah Aceh, melainkan juga sebagai perang suci (Perang Sabil) dalam mempertahankan agama dari serangan Belanda yang disimbolkan sebagai kafir sehingga menjadi fardhu ‘ain bagi setiap rakyat Aceh untuk ikut berperang  (Baca: T. Ibrahim Alfian, dalam buku Perang di Jalan Allah). Oleh karena itu, walaupun Istana (Dalam) yang merupakan salah satu simbol Kesultanan Aceh telah direbut oleh Belanda, perang terus berkobar dan semakin meluas. Kurang lebih 75.000 rakyat Aceh atau sekitar 15% populasi wilayah tersebut tewas terbunuh oleh pasukan Belanda.

Melihat tingginya semangat anti-Belanda yang dimiliki rakyat Aceh, pada awal pergantian abad (awal abad ke-20), terutama setelah Sultan Aceh menyerahkan diri akibat keluarganya disandera, pemerintah Kolonial Belanda mulai mengubah kebijakannya terhadap Aceh, dari kebijakan penaklukan dengan kekerasan menjadi kebijakan mengambil hati rakyat Aceh.

Itu berkat anjuran Christian Snouck Hurgronje (politik pasifikasi). Tujuannya adalah agar rakyat Aceh tidak melawan lagi dan bersedia bekerja sama dengan Belanda membangun kembali Aceh yang porak-poranda akibat perang berkepanjangan.

Walaupun tidak sepenuhnya berhasil menarik simpati rakyat Aceh, mulai saat itu dilakukanlah pembangunan besar-besaran di Aceh, terutama fasilitas militer, pemerintahan, dan prasarana ekonomi. Kebijakan ini terus dijalankan sampai akhir kekuasaan mereka di Aceh pada 1942, dengan masuknya Jepang.


Setelah pasukan ekspedisi Belanda untuk kedua kalinya berhasil merebut Dalam/Istana dari Sultan Aceh pada awal tahun 1874, untuk menunjang operasi operasi militer mereka di Kutaraja (sekarang Banda Aceh) dan sekitarnya, mereka langsung memikirkan pentingnya komunikasi dan pembagunan jalan darat yang menghubungkan Ulee lheue  dengan Banda Aceh.

Betapa pentingnya persoalan ini dapat dilihat dari campur tangan langsung Pemerintah Hindia Belanda di Batavia (sekarang Jakarta) yang pada tangga 26 Mai 1874 membentuk suatu komisi khusus  untuk mempelajari dan menyusun rencana pembangunan bidang komunikasi tersebut. Salah satu faktor yang mendorong pembentukan komisi ini ialah guna mencari pemecahan masalah transportasi peralatan militer dan perlengkapan antara Uleelheu dengan Banda Aceh. Dengan belum dibangunnya jalan darat  antara dua tempat itu, pemerintah Hindia Belanda mengalami banyak hambatan dalam pengangkutan barang-barang dan itu menyebabkan terhambatnya operasi-operasi militer.


Pada 26 juni 1874 komisi yang bertugas itu membuat laporangnya dan mengusung agar di Uleelheue  dibangun dermaga tempat pembongkaran barang-barang dari kapal, dan dari sana langsung dihubungkan dengan jalan kereta api ke Banda Aceh. Usul ini mendapat persetujuan pemerintah Hindia Belanda dan sejak tahun 1875 dermaga tersebut mulai dibangun dan jalan kereta api antara Uleelheu dengan Banda Aceh mulai dibuka untuk umum.


Saat itu, Gubernur Militer Hindia Belanda untuk Aceh memerintahkan untuk menghubungkan tempat debarkasi Ulee Lheue dan Kutaraja dengan sebuah jalan dan rel kereta api sepanjang 5 km serta sebuah alat perhubungan telegraf di antara kedua tempat tersebut. Disamping itu diputuskan pula untuk membangun suatu dermaga di Ulee Lheue yang pengerjaannya ditugaskan kepada Zeni. 

Pembangunan awal yang dilakukan Belanda adalah membangun dermaga. Kebutuhan besi dan kayu untuk pembuatan dermaga didapat dari Singapura pada tahun 1874 dan proses pembuatan dermaga membutuhkan waktu hingga dua tahun yang kemudian digunakan sebagai dermaga kereta api yang bertempat di Ulee Lheue. Pembangunan rel kereta Aceh hanya selisih 20 tahun setelah perkeretaapian di Indonesia lahir.

Rencana-rencana tersebut harus dilaksanakan secepat mungkin. Lintas kereta api Ulee Lheue-Kutaraja tidak hanya menyokong pada kecepatan pengangkutan, tetapi juga disebabkan ketika hujan turun, jalan raya yang ada di antara tempat tersebut tidak bisa digunakan oleh para kuli untuk mengangkut orang, barang seperti peralatan perang, amunisi dan bahkan konsumsi, serta tentara yang sakit.

Kereta api benar-benar dijadikan alat perang ketika pemerintah Belanda di Aceh menerapkan sistem konsentrasi lini (1884-1893). Sistem ini diterapkan karena pihak-pihak Pejuang Aceh sudah sering menyerang pengangkutan bahan-bahan makanan dan amunisi Belanda di sekitar ibukota Kutaraja. 

Pasukan Aceh menilai bahwa jalur kereta ini sangat menguntungkan mobilitas pasukan Belanda sehingga menjadi sasaran empuk pembantaian. Akhirnya, jalur kereta di sabotase pejuang Aceh, sebuah granat diledakkan di lintasan rel kereta api di kawasan Lamara yang menuju ke Lampenerut. Tak hanya itu, jembatan kemudian juga dibakar. Akibat kejadian ini, Belanda memutuskan untuk tidak menyambung rel kereta ke beberapa kawasan karena kerusakan yang berulang kali akibat serangan para pejuang Aceh. Alasan lain, para pekerja yang didatangkan dari Jawa dan juga para serdadu yang mengawasi pembangunan rel sering mendapat serangan dari para pejuang Aceh.
Jalur Rel yang disabotase oleh pejuang Aceh. Foto: Tropen Museum
Meskipun usaha membangun jalan kereta api ke Gle Kameng sampai tahun 1883 tidak berhasil dilaksanakan, tetapi usaha  itu berhasil mencapai Lam Baro dan  karena itu sejak tahun 1884 kereta api ini dibuka untuk umum.

Pembangunan jalan kerata api pertama  dari Ulee Lheue ke Banda Aceh dan selanjutnya dari Banda Aceh ke Lam Baro yang panjangnya 7 kilometer sepenuhnya dibangun oleh seni-bangunan pasukan Belanda.

Jalan kereta api di Banda Aceh dan sekitarnya menjadi lebih penting lagi dari sudut strategi militer Belanda ketika mulai diberlakukannya “sistim garis konsentrasi di Aceh Besar. Kebijaksanaan umum pemerintah Belanda pada waktu itu ialah berusaha  mengkosolidasikan kekuatannya pada daerah-daerah yang telah berhasil direbutnya dari orang-orang Aceh di Aceh Besar.

Mereka pada waktu itu tidak melakukan perluasan daerah, tetapi coba mempertahankan apa yang telah mereka kuasai saja. Daerah-daerah yang dianggap telah berada di bawah kekuasaannya itu dipertahankan sekuat tenaga dari serangan serangan Muslimin Aceh.

Guna membangun sistem pertahanan di dalam garis konsentrasi,  dibangunlah beberapa benteng pertahanan Belanda. Benteng–benteng ini dihubungkan satu dengan lainnya oleh jalan kereta api. Di samping jalan kereta api yang telah terlebih dahulu dibangun antara Uleelheue dengan Banda Aceh, sejak tahun 1885 pembangunan jalan-jalan kereta api yang menghubungkan berbagai benteng pertahanan itu berkembang dengan pesat. Berhubung pembangunan jalan-jalan kereta api pada periode pertama ini semata-mata untuk kepentingan militer, maka fungsi ekonominya masih kurang diperhatikan.


Hingga tahun 1892, transportasi kereta api di Aceh dengan nama Atjeh Tram (AT) masih sebagai sarana mengangkut peralatan militer dari pelabuhan Ulee Lheue ke Kutaradaja – nama Banda Aceh saat itu. Gerbong-gerbong kereta Atjeh Tram saat itu didatangkan dari Jerman. Rel-rel kereta yang dibangun menyatukan jalur menuju benteng pertahanan Belanda yang satu dengan yang lainnya. 
Salah satu benteng pertahanan Belanda yang terkoneksi jalur KA di Aceh Besar
Selain mengangkut serdadu dan logistik seperti kuda dan juga peralatan tempur lainnya, Belanda juga punya kepentingan untuk terus memperkuat pertahanannya dengan mengawasi seluruh kawasan yang dilintasinya.
Jembatan KA di Pidie dijaga ketat oleh Pasukan Belanda. Foto: Tropen Museum
Pada waktu sistem garis konsentrasi dihapuskan pada tahun 1896, jaringan kereta api antara Banda Aceh dengan daerah luar dapat ditambah. Jaringan-jaringan rel kereta api yang selama garis konsentrasi dianggap penting, tetapi dengan penghapusan itu tidak berguna lagi dan oleh karenanya dihapuskan. Pada tahun 1898 jaringan kereta api antara Banda Aceh ke Lam Baro berhasil diselesaikan.


Pada tahun 1901 seluruh jaringan kereta api di Aceh Besar berjumlah 58 kilometer yang berimbas perlunya memperluas bangunan stasiun dan bengkel di Banda Aceh untuk melayani jalur ini. Dalam perkembangan selanjutnya ketika jalan kereta api berhasil menghubungkan Banda Aceh dengan Langsa, dua bengkel besar dibangun di Sigli dan Langsa.

Jalur kereta di Idi yang dijaga Pasukan Belanda dari sabotase Pejuang Aceh. Foto: Tropen Museum
Era Atjeh Staats Spoorwegen Hingga era PNKA


Rencana penyambungan jalan kereta api dari Seulimeum ke Pidie mulai dicanangkan Van Heutsz, Gubernur militer Belanda  di Aceh pada tahun 1898. Rencana Van Heutsz ini berkaitan erat dengan ekspedisi-ekspedisi militer yang dijalankannya ke berbagai derah Uleebalang baik ke Pidie, pantai utara atau pantai timur.
Ketika situasi di Aceh sudah mulai benar-benar dapat dikuasai Belanda pada tahun 1916,, pengawasan kereta api tidak lagi di bawah kekuasaan militer, tapi sudah mulai ditangani pihak sipil. Seiring itu, nama Atjeh Tram kemudian berganti nama menjadi Atjeh Staats Spoorwegen (ASS). Singkatan ini kemudian diplesetkan pada zaman itu menjadi Asal Sampai Sadja (ASS).
Pembangunan Jembatan KA di Aceh. Foto: Tropen Museum
Tanggal 29 Desember 1919 persambungan kereta api Deli Spoorweg Maatschappij (DSM) dengan lintas Aceh diresmikan pemakaiannya. Total panjang jalur kereta api Aceh 450 km dengan total biaya 23 juta Golden. Keseluruhan jalur ASS ini menggunakan jalur sempit 750mm yang berbeda dengan jalur yang terhubung milik DSM.


Jaringan kereta api di Aceh sebenarnya telah berjalan sangat baik pada masa kolonial dulu. Pembangunan jaringan kereta api masa kolonial dilakukan dengan sangat serius dengan investasi dana yang tidak sedikit. Perluasan jaringan keluar Aceh Besar ke Besitang, sepanjang 450 km, hanya dilakukan dalam waktu 20 tahun saja.
Perbaikan Jembatan KA akibat sungai yang meluap. Foto: Tropen Museum
Sama dengan pembangunan jalan raya, pembangunan jaringan kereta api juga berjalan lancar. Meskipun pembangunan jaringan kereta api Aceh (Atjeh-Tram) sangat bermuatan politik, angkutan ini juga berpengaruh dalam lapangan ekonomi. Jaringan kereta api Aceh yang pertama sekali dibangun pada 1876 hanya dapat menghubungkan Ulee Lheue ke Kutaradja (Banda Aceh) sejauh 5 km, dan berkembang dengan cepat sekali.
Sejak itu, KA yang ada di Aceh beroperasi dengan titik pemberangkatan dari kota Medan. Biasanya dimulai pada pagi hari. Kereta akan berjalan ke arah utara melalui tempat pengilangan minyak BPM (Bataafsche Petroleum Maatschappij) Pangkalan Brandan.
Di perbatasan Aceh, yaitu di Besitang, jenis kereta api diganti dari kereta api DSM dengan kereta api Aceh, Atjeh Tram yang mempunyai jalur lebih sempit (750 mm) dan tentunya gerbong lebih kecil.
Di sepanjang perjalanan, banyak sekali dijumpai stasiun dan halte kecil. Pada pukul 18.00 sore kereta api tiba di Lhokseumawe. Keesokan harinya, pada pukul 13.00 siang tiba di stasiun Sigli. Di Padang Tiji kereta api berhenti selama ± 10 menit untuk mengganti lokomotif yang lebih kuat.
Pergantian lokomotif ini disebabkan, jalan mulai menanjak melalui batas air antara Gunung Seulawah Agam dan Gunung Seulawah Inong, yaitu melewati Krueng Empat Puluh Empat. Pukul 15.00 kereta api berangkat dari Seulimum melalui Indrapuri menuju Lambaro. Di Lambaro kondektur kembali memeriksa karcis penumpang.
Pada pukul 18.00 sore, kereta api baru tiba di Stasion Kutaradja. Dengan demikian, perjalanan memakai kereta api untuk lintas Medan-Kutaradja, pada era tersebut memakan waktu selama 2 hari.
Perjalanan Atjeh Tram dari Besitang-Banda Aceh berakhir di sebuah tangga kecil yang berujung dekat jembatan KA, yang terbentang di atas Muara Krueng Aceh. Tempat itu berada dekat hutan bakau.
Lokomotif Atjeh Tram menarik rangkaian gerbong penumpang di Kutaraja. Foto: KITLV 
Tahun 1939, operasional rel di Aceh mencapai puncaknya dengan mengoperasikan enam kereta api ulang alik tiap hari yang mengangkut 8.500 penumpang dan 500 ton barang.
Setelah Indonesia merdeka, transportasi kereta api di Aceh terus digunakan, hanya saja mengingat suasana yang kacau pada awal-awal kemerdekaan membuat sarana dan prasarana kereta Aceh terabaikan. 


Pada awalnya nasionalisasi perkeretaapian di Indonesia, jalur rel eks ASS menjadi bagian dari Divre I Sumatera Utara dan berdiri sebagai Kantor Inspeksi 14 Aceh yang bertanggung jawab terhadap lintasan mulai dari Stasiun Kutaraja sampai dengan Besitang, yang berbatasan langsung dengan Divisi Regional I Sumatera Utara. Panjang relnya 485, 9 km.. Kantor Pusat Inspeksi 14 Aceh ini beralamat di Jalan Iskandar Muda No. 2, Banda Aceh.

Saat ini Kantor tersebut telah kembali ke pangkuan PT. Kereta Api Indonesia (Persero) - PT. KAI sejak tanggal 24 April 2011, berkat perjuangan generasi pertama yang ditempatkan di Propinsi Aceh oleh Direksi pimpinan Ignasius Jonan, yang dahulu menjabat Dirut pada 25 Februari 2009.

Sejarah Kereta Api Aceh mulai masa suram setelah pada tahun 1953, kondisi Aceh memanas saat sejumlah rakyat Aceh memutuskan melawan pemerintahan pusat dan bergabung dengan DI/TII pimpinan Kartosuwiryo. Praktis, aktifitas perjalanan kereta tersendat-sendat dan hanya melakukan pemeliharaan aset saja. 

Setelah konflik mereda yang ditandai kembalinya Tgk. Daud Beureuh dan pasukannya ke pangkuan Republik Indonesia, pada sekitar tahun 1975-an hingga 1980 kereta api di Aceh masih beroperasi namun jalannya sudah tidak teratur, kadang jalan dan kadang tidak. Hal ini disebabkan karena kereta api yang di operasikan sering mengalami kerusakan karena ketuaan, dan proses perbaikannya pun memakan waktu yang relatif lama.

Selain itu dari segi kecepatannya pun sudah mulai menurun. Bahkan Majalah Tempo pada edisi Oktober tahun 1972 melaporkan bahwa kereta api Aceh hanya mampu merangkak 25 Km per jam. 

Beberapa masalah kereta api berikutnya muncul baik dari segi fisik maupun biaya produksi yang semakin meninggi yang menyebabkan perusahaan kereta api terus merugi, itu lah mengapa transportasi kereta api akhirnya ditutup. 

Tidak aneh, sebab seluruh onderdil, rel, gerbong dan lok yang ada kecuali 8 lok diesel mini sumbangan Frans Seda dan 10 lok rampasan dari Jepang masih warisan ASM (Atjehs Staatsspoormaatschappij) se abad yang lalu. 
Lok C301 semasa berdinas era PNKA Eksploitasi Aceh.
Sementara tahun berganti tahun, sudah lama kereta api tidak menjadi alat angkutan darat yang terpenting di Aceh. Seperti dikatakan Kepala PNKA (Perusahaan Negara Kereta Api) Eksploitasi Aceh, M, Djunaed yang hanya mampu mengumpulkan uang karcis 2 juta rupiah tiap bulan, “sekarang saingan datang dari jalan raya”. 
Untuk keperluan dalam kota, trayek kereta api terbatas sekali. Cuma antara stasiun Kutaraja dan stasiun Ulheu Lheu. Relnya membentang mulai dari stasiun, melalui Jalan Diponegoro, menyeberangi Jalan Merduati, masuk ke Lampaseh, melewati Deah Alue, Deah Baro, lalu stasiun Ulheu Lheu. Di Pasar Aceh, ada sebuah halte, sehingga penumpang bisa naik dan turun di situ.

Akhirnya, perjalanan kereta api terus menurun hingga operasi pemberangkatan yang semula enam unit berangsur-angsur menyusut menjadi dua unit saja, yang berangkat pada siang hari pada tahun 1969. Lima tahun kemudian, tepatnya tahun 1974, layanan angkutan KA Aceh terpaksa ditutup karena terus merugi. Kereta api tidak mampu bersaing dengan sarana transportasi jalan raya yang sudah semakin baik kala itu. Ditambah lagi, onderdil kereta api semakin sulit dicari, karena banyak gerbong dan loko merupakan peninggalan zaman Belanda.

Penutupan pengoperasian KA di Aceh pertama pada lintas Ulee Lheue ke Banda Aceh sepanjang kurang lebih 4 km pada tahun 1976. Lintas itu menghubungkan pelabuhan ke Stasiun Kutaraja. Kemudian dengan berkembangnya konflik antara pemerintah dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang ingin memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), telah mempercepat proses penutupan operasi KA di tanah rencong.
Banda Aceh resmi sudah tidak memiliki hubungan KA lagi sejak tahun 1982. Sekarang, perhentian akhir Atjeh Tram ini berdiri dengan kokoh pertokoan Barata Departemen Store.


Setelah berakhirnya masa kejayaan kereta api di Aceh kepopulerannya pun semakin menurun. Bahkan generasi-generasi sekarang banyak yang tidak mengetahui bahwa kereta api pernah berjaya di bumi Aceh. Hal ini sangat disayangkan mengingat sejarah perkeretaapian Aceh merupakan salah satu transportasi yang berperan penting membantu rakyat Aceh dari segi ekonomi, sosial dan politik terlepas dari salah satu peran penting keberhasilan Belanda menaklukkan Aceh.

Era PT KAI

Sejak ditutupnya operasi KA di Propinsi Aceh, secara berangsur-angsur, sebagian aset perkeretaapian dikuasai masyarakat dan pemerintah setempat, namun sebagian masih dapat diselamatkan. Maklum sudah dua puluh tahun lebih tidak diurus, sehingga ketika melihat lahan perkeretaapian yang seolah-olah tidak ada yang menguasai, terlantar dan kumuh, lahan itu dimanfaatkan oleh pemerintah setempat untuk pelebaran jalan, bangunan perkantoran, ruko, kios-kios dan penghijauan.

Untuk mendapatkan kembali aset-aset sisa perkeretaapian Aceh, perlu perjuangan heroik, penuh kepahlawan yang dilakukan teman-teman kereta api yang ditempatkan di Propinsi Aceh, yang sejak tahun 2009 untuk merintis pendataan dan pengambilalihan serta pengusahaan aset perkeretaapian di Aceh dengan dibentuknya UTP. Pengusahaan Aset Aceh.
Kini, perkeretaapian Aceh masuk dalam wilayah Divisi Regional 1 Medan yang membawahi perkeretaapian di Sumatera Utara dan Aceh dengan jalur kereta api aktif sepanjang 11,3 km antara Krueng Mane dan Krueng Geukueh. 
Hal yang menarik di jalur ini adalah lebar rel yang berbeda dengan mayoritas jalur di Indonesia yang menerapkan standar Jepang. Jalur rel di Aceh sudah berstandar internasional (1435mm) yang dilalui KRD buatan Inka.
Tunggu Lagi Ceritanya Lagi yaa!!! Bersambung-->

Dikutip dari berbagai sumber