Senin, 18 September 2017

STASIUN PULAU AIR, STASIUN BERSEJARAH DI KOTA PADANG

Emplasemen Stasiun Pulau Aie tahun 1915. Foto: KITLV
Stasiun Pulau Air (PLA) (sebelumnya: Poeloe Ajer) adalah stasiun kereta api non-aktif yang berada di Jalan Pulau Air Kelurahan Palinggam Kecamatan Padang Selatan, kawasan Kota Lama Padang. Stasiun ini merupakan stasiun ujung sebelum jalur menuju pelabuhan Muaro yang percabangannya dari Stasiun Padang. 
Bagian depan bangunan eks Stasiun Pulau Air. Foto: Bayu Haryanto
Dibangun sekitar tahun 1900, untuk kepentingan angkutan penumpang dan barang dari dan ke pelabuhan sehingga merupakan stasiun dan jalur kereta api pertama yang dibangun pemerintah Hindia Belanda di Padang sekaligus di Ranah Minang. Jalur ini adalah bagian dari jalur Padang-Padang Panjang sejauh 71 km yang mulai dibangun sejak 6 Juli 1889.
Peta jalur kereta Padang-pulau Air. Foto: searail.malayanrailways.com
Jalurnya digunakan sebagai sarana angkut batu bara dari Ombilin Kota Sawahlunto menuju pelabuhan Muaro Padang sebelum Pelabuhan Emmahaven (Pelabuhan Teluk Bayur) dibangun serta untuk mengangkut penumpang umum.

Stasiun ini memiliki luas 27,50 x 12 m3 dengan pintu masuk yang berada di tengah bangunan sehingga terlihat seperti dua bagian bangunan. Bangunan ini menggunakan atap seng dengan jendela persegi dan pintu tinggi khas arsitektur bangunan masa kolonial. 
Stasiun Pulau Air saat masih melayani kereta penumpang. Sumber: Twitter @MinangOfficial
Stasiun Pulau Air adalah jalur transportasi perdagangan. Sejak berdirinya stasiun ini hingga awal tahun 1980-an, keberadaan stasiun ini menjadi pilihan utama jalur perdagangan di Sumatera Barat. Pada tahun 1950-an alat transportasi darat yang menghubungkan Kota Padang dengan daerah pedalaman adalah kereta api, selain bendi dan pedati. Kemudian pada tahun 1960-an, stasiun Pulau Air selalu ramai dikunjungi calon penumpang dan aktivitas bongkar muat barang yang akhirnya membuat perekonomian di daerah ini menggeliat. 
Foto lama (1905-1920) Stasiun Pulau Air. Foto: KITLV
Saat itu kereta api dari Stasiun Pulau Air berangkat 4 kali perjalanan. Ada dua jenis kereta api yang ada di stasiun Stasiun Pulau Air, pertama kereta barang, biasa disebut oleh masyarakat setempat dengan kereta gerobak yang memiliki 6 hingga 10 gerbong kereta. 

Kedua kereta penumpang, biasa disebut oleh masyarakat setempat kereta ganevo, dan memiliki 4 hingga 6 gerbong kereta. Kereta api barang biasanya 3 kali pulang pergi dalam sehari, dan kereta api penumpang biasanya 2 kali pulang pergi dalam sehari. lokomotif yang berdinas disini diinapkan di dipo lokomotif dekat Stasiun Pulau Air.
Emplasemen Stasiun Pulau Aie tahun 1935. Foto: KITLV
Bangunan stasiun. Foto: Artalentalle Picture
Bekas bangunan Dipo Lokomotif Pulau Air. Foto: Bayu Haryanto
Sayangnya, Seiring waktu, peran kereta api tergantikan oleh kendaraan bermotor yang dinilai lebih cepat. Keadaan ini diperburuk dengan rusaknya prasarana gerbong kereta faktor usia sehingga mengurangi rasa nyaman penumpang. Dinding dan segala fasilitas gerbong yang tak terawat mengakibatkan, masyarakat beralih menggunakan armada bus dan truk. selain itu, memudarnya peran Pelabuhan Muaro yang tergantikan oleh Pelabuhan Teluk Bayur yang lebih modern mematikan perekonomian disana.

Jejak rel yang tertimbun. Foto: Bayu Haryanto
kondisi rel di emplasemen Stasiun Pulau Air. Foto: Bayu Haryanto
Stasiun Pulau Air telah dihentikan operasinya sejak tahun 1983. Jejak rel masih bisa dilihat di sana. Rel ini bisa berada di dalam rumah atau menjadi bagian teras sebuah rumah. Jejak rel ini juga masih bisa terlihat diantara bangkai bangunan dan tanaman liar. Padahal stasiun ini dahulu mempunyai empat jalur kereta. Sejak tidak beroperasi, kawasan itu kemudian tumbuh menjadi permukiman warga.
Kondisi terkini Stasiun Pulau Air. Foto: Bayu Haryanto



Kondisi bekas peron Stasiun Pulau Air. Foto: Bayu Haryanto
Revitalisasi Stasiun Pulau Air. Foto: M Ikhlas
Kondisi Stasiun Pulau Air, yang merupakan cagar budaya, cukup mengkhawatirkan. Meski masih terlihat kokoh, namun di beberapa titik terlihat retakan yang lumayan dalam di dinding, termasuk  di sambungan tembok. Hampir seluruh material stasiun ini masih asli, termasuk lantainya. Lantainya berbentuk persegi dengan corak totol-totol seperti kulit harimau berwarna kuning. Ada juga tandon penyimpanan air untuk lokomotif uap.
Bentuk ubin bangunan stasiun khas zaman kolonial. Foto: Bayu Haryanto
Menara tangki air untuk lokomotif. Foto: Bayu Haryanto
Menengok lebih ke belakang, ke gedung yang bisa jadi dulu berfungsi sebagai depo, kondisinya sudah lebih parah. Di satu sisi sudah ambruk akibat gempa. Belum lagi retak-retak yang terjadi di sekujur tembok. Sayangnya, gedung itu tak bisa ditilik hingga ke dalam karena sudah ditempati oleh pihak lain sebagai bengkel.

Kondisi emplasemen stasiun. Foto: Bayu Haryanto
Bekas bangunan Stasiun Pulau Air. Foto: M Ikhlas
Mengingat arti pentingnya tempat bersejarah ini, Pemerintah Kota Padang telah menetapkan Stasiun Pulau Air sebagai salah satu cagar budaya dengan nomor inventaris No.69/BCB-TB/A/01/2007. Selain itu, untuk menambah atraksi wisata di Padang, jalur kereta api pertama ini akan kembali dihidupkan untuk kereta wisata. Jalur sepanjang sekitar 2.3 kilo itu menghubungkan Stasiun Padang ke Stasiun Pulau Air di Pasa Gadang yang di masa lalu langsung terhubung ke Pelabuhan Muaro. Jalur ini sengaja akan dihidupkan untuk wisata nostalgia, melihat Padang di masa lalu.
Jalur rel Stasiun Pulau Air. Foto; Artalentalle Picture
Emplasemen Stasiun Pulau Air. Foto: M Ikhlas
Namun gempa yang mengguncang Padang pada 30 September 2009 agaknya mengharuskan PT KAI dan Pemerintah Kota Padang berkonsentrasi pada urusan penanganan pasca gempa. Belum lagi urusan pembenahan jembatan kereta api yang bergeser akibat gempa serta jalur kereta api yang tak lagi lurus, berkelok-kelok bahkan terpisah dari tanah tempat rel bertumpu. Ini terjadi di jalur Padang-Pariaman di km 43 dan jalur Padang-Kayutanam di km 41.

Kini kita berharap agar pemerintah kembali serius menghidupkan jalur ini agar kenang-kenangan kejayaan kereta api di Ranah Minang kembali terwujud kembali di masa kini. Apalagi pernah terbentik rencana bahwa kereta bandara dimuali dari stasiun ini.

Dikutip dari berbagai sumber

2 komentar:

  1. Masa kecil dan remajaku di sini. Banyak kenangan manis yang membekas. Bila dalam foto stasiun tempo doeloe dan beberapa tahun silam - yang terkesan kumuh - namun sejak Juli atau Agustus 2019, stasiun ini semakin molek dan cantik - bahkan terkesan mewah.

    BalasHapus
  2. disebut dengan tongak anam dulunya,dikarenakan mempunyai pondasi 6 kayu yang sangat kokoh untuk menopang atau menahan bangunan,tempat bermain sewatku kecil saya disana mengahabiskan waktu hampir setiap hari,sedih kalau di ceritain hanya bisa di kenang,

    BalasHapus