Senin, 30 Maret 2020

JEJAK KERETA TREM UAP DI PULAU BELITUNG

Bangka dan Belitung adalah dua pulau yang terapung sendiri-sendiri, dipisahkan oleh sebuah selat, dan terletak di sisi timur Sumatera bagian selatan. Komposisi etnis penduduk Bangka dan Belitung mirip, bahasanya berkerabat, dan keduanya ialah pusat pertambangan timah nasional (baik Hindia Belanda maupun Indonesia) sejak abad ke-19. Tapi, pertambangan timah di Bangka dan Belitung meluncur di jalur yang berlainan, dan karena itu keduanya, meski tergabung dalam unit administratif yang sama (keresidenan di periode Hindia Belanda dan provinsi di masa Indonesia), memiliki sejarah yang berbeda pula. Pulau Belitung sendiri terbagi menjadi 2 kabupaten yaitu Kabupaten Belitung, beribukota di Tanjung Pandan, dan Belitung Timur, beribukota Manggar.

Pada 1668 dan 1672, seorang ondercoopman atau agen VOC yang bernama Jan De Harde mengunjungi dua pulau tersebut, tapi ia gagal menemukan sumber keuntungan komersial yang signifikan. Beberapa puluh tahun kemudian barulah tambang-tambang timah dibuka di Bangka.

Dalam laporan ahli botani J.C.M Radermacher tentang kunjungannya ke Sumatera (1781), terdapat deskripsi: “sebuah bukit timah, seperti Bangka.” Menurut Mary F. Somers Heidhues dalam “Company Island: A Note on the History of Belitung”, pemerintah Hindia Belanda ogah-ogahan mencari timah di Belitung karena mereka tidak yakin pasar sanggup menampung timah lebih dari hasil pertambangan di Bangka. Pada 1851, tim yang dipimpin John Loudon dan didukung oleh, salah satunya, Pangeran Hendrik dari Kerajaan Belanda, menemukan timah di Belitung. Setahun kemudian, kelompok itu memperoleh konsesi atau izin penambangan selama 40 tahun dari Hindia Belanda.

Sisa rel trem di Belitung.
Berbeda dari Bangka yang tambang-tambang timahnya sejak awal dikelola oleh negara, perintis usaha sejenis di Belitung adalah swasta. Pada 1860, perusahaan Loudon dan rekan-rekannya menjelma jadi Billiton Maatschappij alias Maskapai Belitung. Maskapai itu (dan turunannya) mengendalikan tambang-tambang timah dan mendominasi sejarah Belitung selama seabad, sampai dibubarkan dan aset-asetnya diambil alih oleh Indonesia pada 1958.

Jalur Trem Uap Distrik Sijuk

Perburuan dan penambangan biji timah di pulau belitung sudah di lakukan berabad-abad lamanya, baik itu di tambang luar atau tambang dalam. Tambang dalam di pulau belitung dilakukan di bukit Gunong Kik Karak Kecamatan Kelapa Kampit Kabupaten Belitung Timur dan Mentikus.

Mentikus merupakan salah satu nama kawasan tambang yang berada di desa Aik Selumar Kecamatan Sijuk Kabupaten Belitung. Tambang dalam Mentikus mencapai ke dalaman hingga 110 meter, dengan cadangan yang dapat di garap diperkirakan hingga 800.000 ton biji timah berkadar baik.

Mentikus merupakan sebuah kawasan pertambangan timah yang dibangun oleh perusahaan tambang asal Belanda, NV GMB pada awal abad ke 20. Semula kawasan itu dinamai tambang Tikus karena berada dalam area perbukit Gunung Tikus.

Setelah ditambang biji-biji timah itu di angkut ke tempat penampungan ke gudang yang di perkirakan dekat sungai mempadin dengan menggunakan transportasi Tram Uap (kereta api) untuk kemudian biji-biji timah itu di bawa ke luar pulau melewati bandar pelabuhan Sungai Sijuk.

Trem uap di Mentikus, Sijuk
Jejak keberadaan Tram Uap ini, hingga tahun 1970an batangan rel kereta api itu masih dapat di jumpai melintasi kampong aik selumar, pegarun hingga ke sungai mempadin, pada tahun yang sama pula masih dapat di jumpai bangkai lokomotif Tram Uap tersebut.

Jalur rel trem di Distrik Sijuk lebih pendek dan tak bercabang dibandingkan jalur trem di manggar dengan rute membentang mulai dari Selumar sampai Pelabuhan Sijuk. Namun seperti halnya di Manggar, jejak jalur trem di Sijuk kini nyaris tak berbekas. Tahun pembuatan serta “Bekas rel dan lokomotif nya dak ada lagi, paling yang tersisa cuma beton bekas jembatannya saja,” kata Adi Darmawan, Ketua Ketua Hkm Arsel Community Desa Selumar.

Hingga kini, jejak-jejak peradaban Situs Mentikus masih terlihat. Di sana masih dijumpai kolam penampung air berukuran sekitar 6x15 meter, puing perkantoran, gudang, pondasi rumah panggung, hingga penjara.

Selain itu di sekitar kawasan itu juga banyak ditemui serpihan mangkok buatan Cina yang dulu digunakan oleh para pekerja tambang asal Tiongkok, Cina.

Objek yang paling menonjol di kawasan ini adalah sebuah bangunan yang bertuliskan Anno 1915. Bangunan dengan gaya arsitektur Belanda itu menjulang hingga 10 meter lebih menyerupai Gereja.

Sejumlah versi menyebut bangunan itu dulunya digunakan untuk gudang, namun versi lain menyebut gedung itu untuk pembangkit listrik. Dari sisi belakangan, bangunan ini diwarnai dengan lahan eks tambang yang bergelombang.

Situs ini terletak di dalam area perkebunan kelapa Sawit PT Agro Makmur Abadi (AMA) blok 31 JB 3, Desa Aik Selumar, Kecamatan Sijuk. Dari Tanjungpandan, perjalanan ke kawasan ini ditempuh kurang lebih 45 menit dengan melewati jalan tembus Desa Air Seru-Desa Buluh Tumbang, Tanjungpandan.

Jalur Trem Uap Distrik Manggar

Emplasemen tambang timah di Manggar di Biliton
Emplasemen Stasiun Manggar, Pulau Billiton di Belitung. Foto: Tropen Museum
Di Manggar, juga dibangun jaringan kereta uap untuk menopang transportasi di area pertambangan timah. Kereta uap yang digunakan ini merupakan kereta tambang timah yang memiliki jalur rel sempit dibangun pada tahun 1885. Awalnya jalur ini dibuka oleh militer di tahun 1876. Kereta ini dioperatori oleh Deli Spoorweg Maatschappij.


Refrensi tentang trem bisa diperoleh lewat terjemahan buku Gedenkboek Billiton (GB) 1852-1927 jilid I dan II, Koleksi Tropenmuseum dari Yayasan Royal Tropical Institute Amsterdam, serta website resmi Perpustakaan Universitas Leiden, Belanda.

Informasinya tersaji mulai dalam bentuk buku, foto, sampai peta. Dalam buku GB Jilid I disebutkan, pembangunan trem dimulai 1885 di Distrik Manggar pada masa N.V Billiton Maatschappij (BM) dipimpin oleh Johan Philip Ermeling. Ia berhasil menyakinkan dewan komisaris perusahaan setelah ditemukannya sejumlah lokasi kaya timah di Manggar.

Penemuan itu menuntut penambahan pekerja dan pembangunan trem dinilai sepadan dengan hasil yang akan didapatkan. Kala itu peraturan perusahaan menuntut pegawai dengan gaji f 300 Gulden atau lebih harus memiliki kuda untuk bekerja. Para administrator distrik membutuhkan setidaknya 3-4 kuda yang biaya pembeliannya tidak ditanggung oleh perusahaan.

Di Manggar, peraturan ini lebih longgar karena kebutuhan transportasi pekerja diakomodir dengan trem. Rel dibangun dengan lebar 720mm dan berat 12 Kg/meter, mencakup 22 Km jalur utama dan 28 Km lajur-lajur samping yang dibagi atas 21 sungai kecil. Namun tak seperti kebanyakan cerita, menurut buku Gedenkboek Billiton pada awalnya menumpang trem bukannya gratis, tapi berbayar. Namun seiring berjalannya waktu, penumpang tidak dikenakan biaya.

Trem Uap di Manggar berjumlah empat unit yang digunakan untuk mengangkut penumpang, barang, dan kayu. Pengangkutan kayu utamanya berasal dari Gunong Bulong yang dibeli perusahaan dari pihak ketiga. Kayu digunakan untuk bahan bakar trem, memanggang pasir timah, dan kebutuhan infrastruktur dan gedung perkantoran.

Trem saat itu memang sudah seperti bagian dari kehidupan masyarakat. Oleh masyarakat lokal, trem ini disebut garubak. Disebut Gerubak karena bentuknya memang lebih menyerupai gerobak ketimbang gerbong kereta yang biasa dikenal di pulau Jawa.

Dinding gerbong hanya sampai setinggi pangkal paha dan posisi penumpang saling berhadapan seperti di meja makan. Setiap gerbong memuat enam sampai delapan orang dan sekali berangkat trem bisa menarik 10 sampai belasan gerbong, tergantung dari jumlah penumpang yang ada. Trem tersebut akan berhenti di jalan yang terletak antara gedung pembangkit listrik tenaga disel elektriciteits centrale (EC) dan Kulong Minyak, Kampong Lalang.

Jumlah penumpang dan barang yang diangkut dalam setiap tahunnya pun tercatat dengan baik. Misalnya saja di tahun 1921-1922, trem Manggar tercatat telah mengangkut penumpang sampai 201.187 orang. Sedangkan kurun waktu 1922-1923 menurun hingga 32.251 penumpang dan 207.744 pikul muatan.

Setelah itu aktivitasnya terus mengalami penurunan sampai pihak perusahaan pun tak mampu memperkirakan sampai kapan trem tersebut bisa digunakan. Bertambahnya jumlah mobil dinilai sebagai salah satu penyebab menurunnya aktivitas trem kala itu.






 “Pada kerusuhan di tahun 1911 di Manggar, mobil menunjukkan besar gunanya. Pada hari-hari kritis itu para pegawai secara cepat dapat mencapai kebakaran di seluruh distrik, sejak saat itu perjuangan hak membeli mobil telah menang,” tulis buku Gedenkboek Billiton Jilid II. Akhirnya, pada tahun 1955, jalur trem uap di Manggar berhenti operasi hingga kini. 

Sementara website perpustakaan Universitas Leiden menampilkan cukup banyak foto tentang keberadaan trem di Manggar. Salah satu foto menggambarkan sebuah lokomotif yang diberi nama Damar sedang menarik sejumlah gerobak berisi mangkuk kapal keruk.

Selain dari foto, gambaran jalur rel trem juga tampak pada sejumlah peta yang diterbitkan tahun 1878, 1898, 1900, 1925, 1927, dan 1930. Dari semua peta tersebut, tampak Pulau Belitong memiliki dua jalur tram yakni di Distrik Manggar dan Distrik Sijuk.

Peta jaringan rel di Manggar. Sumber: Leiden University Library
Jaringan rel kereta tambang di Mangkubang, Belitung
Peta Belitung era kolonial yang mencakup jaringan rel kereta trem uap
Dari sejumlah sumber yang ada, belum ditemukan informasi mengenai negara atau perusahaan pembuat trem di Belitung. Namun menurut mantan juru tulis N.V GMB Derus (86), trem tersebut merupakan buatan Amerika Serikat.

Lokomotif di jalur trem uap Manggar.
Pada zaman Derus, trem sudah dioperasikan oleh masinis lokal. Seingatnya, satu warga Manggar bernama Wak Liman  dan satunya Wak Sidin, berasal dari Madura. Tak hanya menjadi masinis, keduanya juga bertanggungjawab melakukan perawatan trem.

“Mereka berdua jadi masinis terakhir sampai tremnya tidak jalan lagi, saya tidak tahu keluarga mereka sekarang tinggal di mana,” kata Derus.



Trem Uap Manggar

Sarana trem digunakan untuk mengangkut buruh tambang di Manggar

Trem saat mengangkut hasil kayu dari Gunung Bulong

Trem saat membawa gerbong kosong menuju Gunung Bulong
Setiap orang tak terkecuali anak-anak sekolah bisa saja menumpang trem ke manapun mereka suka tanpa dipungut biaya. Jalur relnya membentang mulai dari Lipat Kajang, Kecamatan Manggar sampai Mempaya, Kecamatan Damar. Tak hanya melintasi kota dan area pertambangan, jalur trem juga menembus hutan rimba di kawasan bukit Gunong Bulong, Damar. Warga kampung yang kebetulan ingin ke hutan untuk mencari kayu sering menumpang trem tersebut.


Jaringan rel kereta trem tidak memiliki stasiun khusus, layaknya sistem perkereta-apian trem di pulau Jawa, namun memiliki titik persinggahan yang berjadwal. Trem berangkat dari Lipat Kajang menuju EC pukul 07.00 WIB dan keberangkatan dari EC pukul 12.00 menuju kembali ke Lipat Kajang.

Jalur rel depan gedung pembangkit listrik (Elektriciteits Centrale) Manggar
Adapun titik pemberhentian trem Manggar meliputi Lipat Kajang, gedung pembangkit listrik tenaga disel elektriciteits centrale (EC), Olipier, Mengkubang, Gunong Bulong. Kemudian dari ruas Manggar - Damar meliputi percabangan dari EC, Desa Kurnia Jaya, A. Ladang,  A. Garumedang, A Lembong, Merak, A. Landai, A. Rayak dan Gunung Bulong.

Jalur kereta di pinggir Sungai Manggar

Bengkel Kereta Trem Lipat Kajang

Dalam buku Gedenkboek Billiton 1852-1927 jilid I disebutkan hingga tahun 1927, Belitong memiliki 15 lokomotif dan 97 lokomobil. Lokomotif ini di rawat secara berkala di Bengkel Kereta Lipat Kajang. Sementara itu dalam website perpustakaan Universitas Leiden tampak sejumlah foto yang menggambarkan kunjungan Gubernur Jenderal Hindia Belanda Mr. Dirk Fock di Belitung pada 25 September 1925. Satu foto di antaranya menggambarkan Sang Gubernur Jenderal sedang diajak meninjau sebuah garasi yang berisi empat unit tram di kawasan bengkel Lipat Kajang, Manggar.
Bengkel Kereta Lipat Kajang
Lokomotif Damar saat berada di bengkel kereta Lipat Kajang.
Gubernur Jendral Hindia Belanda D. Fock saat mengunjungi bengkel kereta Lipat Kajang

Gubernur Jendral Hindia Belanda saat mengunjungi Bengkel Trem Lipat Kajang pada tahun 1925.

Jalur Trem di Tanjung Pandan

Tanjung Pandan sebenarnya juga memiliki jalur kereta, hanya saja tidak didapat informasi yang memadai sistem kereta yang digunakan. Ada dua versi mengenai keberadaan trem di Tanjungpandan. Beberapa sumber menyebutkan pelabuhan Tanjungpandan juga sempat memiliki trem. Namun versi kedua, jalur rel di pelabuhan tersebut hanya digunakan untuk gerobak yang digerakkan oleh tenaga manusia.

Para pekerja menggerakkan gerbong di area pelabuhan Tanjung Pandan.

Sejumlah pekerja sedang melakukan pekerjaan bongkar muat di pelabuhan Tanjung Pandan, Belitung. Foto ini diambil dari album tahun 1921. Catatan dalam foto ini ditulis : Tinmijnbouw / Ir J. van den Broek : hoofdingenieur der Billiton-Maatschappij. - Haarlem, 1921Album aangeboden aan G.L. Bol op 17 april 1933 te Tandjoengpandan vanwege zijn vertrek uit Billiton.


#manggar #tanjungpandan #sijuk #mentikus #belitung #bilitong #tambangtimah #reltambang #trem #tremuap #sejarahperkeretapianindonesia #sumatera


SEJARAH PERENCANAAN JALUR KERETA TAPANULI

Tapanuli adalah sebutan/panggilan umum orang kebanyakan untuk daerah-daerah yang berada dipesisir pantai barat provinsi Sumatra Utara yang asal katanya dari "Tapian Nauli" yang berarti Tepi Sebelah Barat, dibatasi oleh Dataran Aceh Tenggara, Danau Toba dan pegunungan Bukit Barisan di sebelah tengah yang dengan itu memisahkan Tapanuli dengan pesisir timur provinsi Sumatra Utara yang kerap disebut Sumatra Timur atau daerah Melayu Deli.

Di masa Hindia Belanda, daerah ini merupakan bagian administrasi yang diberi nama Residentie Tapanoeli atau "Karesidenan Tapanuli". Tapanuli diberi nomor polisi kendaraan (BB) yang berbeda dari daerah lain di Sumatra Utara (BK) (Terutama dengan daerah Sumatra Timur).

Pada periode 1910-1920 di Tapanuli, hasil karet, kopi dan komoditas lain, serta hasil hutan semakin meningkat, khususnya di daerah Batangtoroe. Saat itu seluruh produk harus diangkut melalui jalan utama Padangsidempoean - Batangtoroe - Sibolga untuk kemudian diangkut menggunakan kapal ke tempat tujuannya. 

Perhatian pemerintah pernah tertuju pada pentingnya rute lalu lintas ini. Laporan tentang rencana pembangunan kereta api Sumatera Tengah menunjukkan manfaat dari adanya kereta api dari Sibolga ke Penjaboengan, yang kemudian akan menghubungkan Padanglawas dengan jalur utama. Pada tahun 1919, Perusahaan Kereta Api Negara (Staatsspoorwegen/S.S.) mulai mencari jalur yang tepat untuk koneksi tersebut dan sudah mulai sibuk dengan pekerjaan persiapan untuk pembangunan jalur sejauh 60 km lintasan datar dan 28 km jalur pegunungan. 


Namun pada tahun 1924, melalui kajian dan kalkulasi yang diperbarui terkait jalur Sibolga - Padang Sidempoean ini, terungkap bahwa proyek ini akan membutuhkan pembiayaan dengan jumlah lebih dari 11,5 juta gulden (atau sekitar 13,5 juta gulden termasuk bunga konstruksi), atau 163 ribu gulden per km. Dengan kata lain, ini akan menjadi jalur yang sangat mahal. Tentu saja, jalur mahal yang melintasi daerah dengan perusahaan perkebunan yang relatif sedikit tidaklah menguntungkan. Bahkan perhitungan kerugian pada biaya operasi jumlahnya akan naik menjadi lebih dari tiga perempat juta gulden. 

Pada situasi ini, S.S. tidak lagi tertarik untuk membangun jalur yang sudah jelas tidak akan menguntungkan. Selain itu, pembangunan jalan raya untuk transportasi mobil di sepanjang jalan Padang Sidempuan ke Sibolga saat itu juga telah dikembangkan dengan sangat baik sehingga dapat dijelaskan bahwa tidak ada lagi kebutuhan untuk kereta api yang berbiaya mahal pada daerah ini. 

Untuk saat ini, pembangunan jalur KA Sibolga–Padangsidimpuan–Rantauprapat juga sudah masuk Rencana Induk Perkeretapian Indonesia walau dalam prioritas rendah. Di Rencana Induk dijelaskan, sasaran pengembangan jaringan jalur kereta api di Pulau Sumatera adalah mewujudkan Trans Sumatera Railways dan menghubungkan jalur kereta api eksisting yang sudah ada yaitu di Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Utara, Riau, Sumatera Barat, Sumatera Selatan dan Lampung menjadi jaringan jalur kereta api yang saling terhubung.



Saat ini kereta api tidak ada di Tapanuli. Sejauh ini bahkan tidak pernah terdengar sekalipun ‘kabar burung’ tentang rencana pembangunan kereta api di Tapanuli. Yang ada hanyalah jalan raya, yang menurut kabar berita, kondisinya sangat buruk terutama jalur antara Padang Sidempuan dan Sibolga via Batang Toru. Padahal, jalur ini di masa lampau merupakan jalur terbaik (aspalnya mulus) dan sangat ramai (arus barang dan orang sangat tinggi, pp). Bahkan ketika jalan raya ini pada top performance, pemerintah di Batavia sudah menganggarkan biaya pembangunan jalan kereta api Tapanuli tahap satu: Padang Sidempuan dan Sibolga.

Sejak ibu kota Afdeeling Mandheling en Ankola dipindahkan ke Padang Sidempuan 1870, kota ini terus berkembang pesat sebagai sentra kopi di Tapanoeli. Selain itu kota ini juga pusat pendidikan dan pusat Eropa (yang mana orang-orang Eropa/Belanda) cukup tinggi konsentrasinya. Untuk memfasilitasi pebangunan tersebut, lalu 1879 dibangun jembatan Batang Toru dengan beton, besi baja menggantikan jembatan kabel telegraf sebelumnya. Jembatan Batang Toru ini selesai tahun 1883 yang merupakan jembatan terpanjang di Nederlandsch Indie (baca: Indonesia). Pada akhir tahun 1890an, para investor sudah mulai membuka perkebunan di sekitar Batang Toru. Sejak 1902 hingga 1915 tidak kurang dari sebelas perusahaan besar swasta berinvestasi di Loemoet, Batang Toru, Anggoli, Huraba, Marancar, Sangkoenoer, Pijor Koling dan Simarpinggan. Intensitas yang tinggi di Batang Toru menyebabkan Batang Toru menjadi pusat industri perkebunan di Tapanuli. Orang-orang Eropa semakin banyak dan bahkan telah jauh melampaui jumlah orang Eropa/Belanda di Padang Sidempuan maupun di Sibolga. Orang kaya baru juga muncul dimana-mana, yang menjadi kaya tidak hanya investor asing tetapi juga para investor local bahkan pekebun-pekebun biasa. Arus komoditi karet mengalir ke Sibolga, sebaliknya arus dollar juga mengalir ke daerah perkebunan. Pada saat itu, pemerintah meningkatkan kualitas jalan raya (mulus) hingga sekelas jalan raya Medan-Pematang Siantar dan jalan raya Padang-Bukit Tinggi. Di atasnya jalan raya kelas-A antara Sibolga-Padang Sidempuan lalu lalang mobil-mobil sedang terbaru, truk-truk besar, dan bis angkutan umum serta sepeda motor. Kontras jika dibandingkan pada tahun 1880an ketika jembatan Batang Toru baru selesai dibangun hanya yang melintas, padati dan kuda beban untuk mengangkut kopi dan orang serta barang lainnya antara Padang Sidempuan dengan Sibolga. Pada saat ini pelabuhan Loemoet masih berfungsi untuk mengepul komoditi kopi dan produk pertanian lainnya untuk diteruskan ke Padang via pelabuhan Djaga-Djaga.  

Pemerintah Kolonial di Batavia melihat kemajuan pesat di Tapanuli, khususnya afd. Sibolga dan afd. Mandheling en Angkola, maka diputuskan untuk mulai merencanakan pembangunan jalur kereta api. Ini dimaksudkan agar terjadi efisiensi perekonomian dan efektivitas pemerintahan. Ini juga dipicu oleh Residentie Tapanoeli sudah dipisahkan dari Province Sumatra’s Westkust sejak 1905 dan Residentie Sumatra’s Oostkust beribukota Medan ditingkatkan menjadi province. Sejalan dengan ini afdeeling Mandheling en Ankola diubah namanya menjadi afdeeling Padang Sidempuan.  

Bataviaasch nieuwsblad. 24-05-1918 (Jalan Trem Jalan di Wilayah Luar): ‘Dari Laporan Anggaran. Secara prinsip sudah diberikan langsung pada dua rencana trem baru di luar (Djawa), yaitu: 1. Jalur sepanjang Residentie Tapanoeli. Jalur ini akan berjalan dari Sibolga (tempat ibukota Resindetie) via Batang Toroe ke Padang Sidempoean, panjang lebih kurang 93 Km (Pelabuhan, Sibolga, BantangToroe, Padang Sidempoean). 

Potensinya untuk untuk memenuhi sebagian afd. Padang Sidempoean, Residentie Tapanoeli, setidaknya untuk wilayah dengan sekitar 150.000 penduduk, dengan pelabuhan Sibolga dan industry perkebunan Batang Toroe sebagai debit di barat pegunungan Bukit Barisan, dimana jalur antara Oost-West masih terdapat hambatan besar. 

Selain itu, pada atau dekat jalan utama dari Padang-Sidempoean ke Sibolga sudah ada perusahaan perkebunan karet dan kopi orang Eropa, sementara budaya peningkatan yang diharapkan daripenduduk cukup besar. Sistem lalu lintas sekarang memerlukan perbaikan mendesak. Ini sudah lama dirasakan oleh individu, yang tercermin dalam serangkaian permintaan untuk konsesi untuk pembangunan trem. Juga dari sisi resmi sudah dilakukan rapport pada survei lapangan dan rencana kereta api untuk Sumatra bagian Tengah dibawah Gcuvernementsbesluit tanggal 14 Juni 1907. 

Prospek lainnya adalah para wisatawan atau migrant antar daerah yang melalui jalan Padang – Medan. Meskipun jalur trem di tahun-tahun awal untuk tingkat sekarang tidak dapat dianggap langsung menguntungkan, mungkin demikian diasumsikan bahwa di pedalaman Padang Sidempoean yang memiliki lembah subur, Angkola dan Groote Mandailing akan memerlukan investasi transportasi untuk mengembangkan intensifikasi cultuur, dimana di daerah itu juga kini daerah itu sudah mulai ada perusahaan Eropa yang membangun plantation dan berkembang lebih besar. Seperti ini datang untuk berbaring di daerah di mana sudah mencapai hasil yang menguntungkan dengan perusahaan budaya, tentu dapat diasumsikan bahwa kesempatan yang ditawarkan untuk para investor baru akan lebih bersemangat. 

Jalur trem diharapkan dalam ukuran standar (1.067 M) dan akan direalisasikan dengan panjang 88 Km, dimana sekitar 60 Km sebagai jalur landai dan 28 Km sebagai jalur pegunungan. Biaya konstruksi diberikan oleh Tapanoeli Society (himpunan perusahaan Tapanoeli). Direktur society telah membuat prioritas untuk pembangunan trem konsesi dan dalam rangka ekstensifikasi, dan rencana awal diperkirakan sebesar f9.000.000, sarana operasional f470.000 dan biaya operasional f355.000. Meskipun dibantu Negara, dari survei yang telah dilakukan secara umum dengan pasti cukup besar bahwa jumlah tersebut diatas untuk biaya konstruksi diperkirakan sudah lebih dari cukup dan bahwa hasil keuangan perusahaan akan menjadi penting menguntungkan kemudian menunjukkan angka di atas. 

Perusahaan-perusahaan TapanoelI sedang dinegosiasikan, yang bersama-sama dengan negara yang memiliki pandangan yang sama dalam mendirikan satu perusahaan kereta api dengan izin prinsip yang diuraikan di atas dalam posisi yang membuka kemungkinan untuk penciptaan satu perusahaan Tapanoeli Tramweg lebih lanjut. Rencana ini, bagaimanapun tidak, yakin bahwa perusahaan tahun ini atau paling lambat pada 1919 akan terwujud’.

Gambar yang memperlihatkan aktivitas transportasi kotak-kotak berisi komoditas karet dengan menggunakan rel di sebuah gudang dari perusahaan perkebunan di Sibolga, Tapanuli. Karena keterbatasan informasi yg didapat terkait foto ini, maka informasi pasti terkait nama perusahaan perkebunan dan tahun pengambilan foto belum diketahui. Namun bila menduga-duga, maka kemungkinan perusahaan yang dimaksud adalah N.V. Rotterdam Tapanoeli Cultuur Maatschappij atau N.V. Amsterdam Tapanoeli Rubber Cultuur Maatschappij, yang saat itu merupakan perusahaan karet terbesar di Tapanuli (Sibolga - Batangtoru - Padangsidimpuan) pada periode 1910-1930.
Pada akhir tahun 1919 rencana pembangunan jalur kereta api Tapanuli ruas Padang Sidempuan dan Sibolga semakin mengerucut. Setelah melalui pembicaraan di Dewan (Volksraad), dan telah disetujui maka pembangunannya tinggal menunggu waktu: persiapan, pengukuran dan pelaksanaan.

Het Vaderland: staat- en letterkundig nieuwsblad, 23-12-1919 (Anggaran): ‘Item berikutnya adalah pengaturan pengeluaran Nederlandsch-Indie untuk tahun 1920, dalam mendukung pembangunan kreta api di Noord  Cheribon dari Tjiteureup ke Madjalaja (Preanger Regency) dan Sibolga via Batang Taroe ke Padang Sidempoean (Tapanoeli)’.

Sementara itu di Bandung rencana pembangunan jalur kereta api ruas Padang Sidempuan  dan Sibolga terus dimatangkan. Kegiatan sudah sampai kepada pelelangan siapa yang menjadi pimpro dan tenaga-tenaga ahli yang dibutuhkan untuk pembangunan rel kereta api tersebut.

Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 07-02-1920 (Railway Pertama Tapanoeli):  ‘Kantor Informasi Provinsi, Kota dan Bisnis Nederlandsch Indie yang ada  Bandung membutuhkan seorang insinyur dan seorang supervisor untuk kinerja kontrak kereta api di Sumatera. Vermoedelflk hal ini berhubungan dengan pembangunan kereta api Negara parta di Tapanoeli, disebutkan dalam anggaran untuk tahun 1920 akan berjalan dari Tapanoeli ini ibukota Sibolga, dan ibukota Asisten Residensi Padang Sidempoean sepanjang rute yang sama dengan layanan SS mobil ini, yakniL Siroedoet, Pasar Baru, Kalangan, Loeboelapian Loemoet, Anggoli, Batang Toroe, Sianggoenan, Siharang-karang dan Hutaimbaroe. Dengan tambahan untuk langsir, akhirnya ke Sibolga kereta api akan membutuhkan panjang sekitar 100 Km. Kereta api Tapahoeli akan mungkin diperluas ke selatan untuk Penjaboengan sejauh 70 Km. dan Kota Pinang ke Timur Laut, dimana kereta api Deli dapat diperpanjang di masa yang akan datang’.

Namun semua niat dan upaya itu, tak menduga pada tahun 1920 sudah terasa denyut ekonomi dunia yang semakin melemah. Pelan tapi menyeramkan, resesi dan bahkan datang depresi ekonomi tidak tertahankan. Proyek jalur kereta api trans Tapanoeli lambat laun beritanya semakin sepi, memudar lalu layu sebelum berbuah. Akhirnya, nasib Tapanoeli sebagaiman daerah-daerah lainnya, banyak program pembangunan yang harus dihentikan. Proyek kereta api Tapanoeli gagal terlaksana (lihat De Sumatra post, 20-10-1926).

Staatstramwegen in Tapanoeli

Staatstramwegen in Tapanoeli adalah perusahaan trem uap yang juga merupakan divisi dari Staatsspoorwegen yang berencana mengeksploitasi dan menginisiasi pembangunan jalur trem di wilayah Keresidenan Tapanuli.

Dengan merujuk pada buku Korte Geschiedenis der Nederlandsch-Indische Spoor- en Tramwegen karya Steven Anne Reitsma, pada tahun 1897, G.P.J. Caspersz mengajukan hak konsesi pembangunan jalur trem uap di wilayah Keresidenan Tapanuli. Ketika itu, beliau ingin membangun jalur trem uap dari Sibolga sampai dengan Garoga dengan lebar sepur 700 mm (2 ft 3 9⁄16 in). Permintaannya pun dikabulkan pemerintah Hindia-Belanda saat itu dengan diterbitkannya Gouvernment Besluit 14 April 1899. Meskipun konsesi telah diberikan, realitanya pembangunan jalur trem uap Sibolga–Garoga tak pernah digarap olehnya selaku inisiator.

Rencana jalur kereta Sumatera era kolonial Belanda
Pada tahun 1911, rencana pembangunan trem uap kembali mencuat. Ketika itu, Tuan Ruys mengajukan proposal rencana prioritas pembangunan trem uap di wilayah Keresidenan Tapanuli kepada Pemerintah Kolonial Hindia-Belanda. Setelah bernegosiasi, rencana pengembangan trem uap akhirnya dipertimbangkan dengan solusi dibentuknya perusahaan gabungan yang mengelolanya. Steven Anne Reitsma juga menyebutkan bahwasanya perusahaan yang dibentuk bernama Staatstramwegen in Tapanoeli. Selanjutnya pada tahun 1919, disusunlah rancangan anggaran yang rencananya akan digunakan untuk pembangunan jalur trem uap di Tapanuli.

Setelah dibentuk, Staatstramwegen in Tapanoeli ketika itu hendak membangun jalur trem trem uap yang menghubungkan Sibolga–Batang Toru–Padang Sidempuan. Di awal tahun 1920, Pemerintah Kolonial Hindia-Belanda menerbitkan Gouvernment Besluit 28 Februari 1920 Ind. stbl No. 150 guna memperlancar proses pembangunan jalur trem uap.

Iman Subarkah dalam bukunya yang berjudul "Sekilas 125 Tahun Kereta Api Kita", menyatakan bahwa pada tahun 1922 telah dilakukan studi pembangunan lintas Sibolga–Padang Sidempuan. Trasenya sendiri direncanakan akan memiliki panjang sekitar 80 km. Selain itu, rencananya lintas ini juga dihubungkan sampai ke Kota Pinang dan Lubuk Sikaping.

Namun, karena kekurangan dana akibat Depresi besar proses konstruksi jalur trem uap tersebut ditunda untuk sementara waktu. Dan pada tahun 1927, secara definitif Staatsspoorwegen menghentikan seluruh konstruksi Staatstramwegen in Tapanoeli.

Iman Subarkah menilai bahwa pembangunan jalan besi di daerah tersebut tidak dianjurkan karena trasenya melewati pegunungan serta kalah bersaing dengan angkutan jalan raya. Nama Staatstramwegen in Tapanoeli dan rencana jalur trem uap yang diprogramkannya pun sirna. Dan praktis saja Staatstramwegen in Tapanoeli menjadi satu-satunya perusahaan perkeretaapian di Hindia-Belanda yang tidak pernah mengoperasikan satu pun jalur kereta apinya.





Jejak Kereta Angkutan Kayu di Pulau Simeulue, Aceh

Kabupaten Simeulue adalah salah satu kabupaten di Aceh, Indonesia. Berada kurang lebih 150 km dari lepas pantai barat Aceh, Kabupaten Simeulue berdiri tegar di Samudera Indonesia. Kabupaten Simeulue merupakan pemekaran dari Kabupaten Aceh Barat sejak tahun 1999, dengan harapan pembangunan semakin ditingkatkan di kawasan ini.

Ibu kota Kabupaten Simeulue adalah Sinabang, kalau diucapkan dengan logat daerah adalah Si navang yang berasal dari legenda Navang. Navang adalah si pembuat garam masa dulu di daerah Babang (pintu masuk teluk Sinabang. Dulunya Navang membuat garam dengan membendung air laut yang masuk ke pantai Babang, kemudian dikeringkan lalu menjadilah garam. Garam Navang lambat laun menjadi dikenal di sekitar Ujung Panarusan sampai ke Lugu. Jika penduduk membutuhkan garam, maka mereka akan menuju si Navang, yang lambat laun konsonan 'V' pada Navang berubah menjadi Nabang. Sementara Sibigo ibu kota kecamatan Simeulue Barat berasal dari kata/kalimat CV dan Co karena masa-masa penjajahan dulu, Sibigo adalah lokasi perusahaan pengolahan kayu Rasak - sejenis kayu sangat keras setara dengan Jati - yang dikirim ke Belanda via laut.

Letak Pulau Simeulue, Aceh

Karena posisi geografisnya yang terisolasi dari Pulau Sumatra, hiruk-pikuk konflik di Aceh daratan tidak pernah berimbas di kawasan ini, bahkan tidak ada pergerakan GAM di kawasan kepulauan ini.

Kepulauan Simeulue yang terpisah dari daratan utama Provinsi Aceh di Pulau Sumatra, tepatnya di Samudra Hindia ternyata pernah memiliki jaringan jalur kereta api untuk kebutuhan angkutan kayu gelondongan dari pedalaman hutan Simeulue menuju ke pelabuhan yang jaraknya kurang lebih 30-35km. Ukuran rel yang dipergunakan untuk keperluan angkutan kayu ini menggunakan lebar rel berukuran 1435mm (Standart Gauge). 


Dalam lingkaran merah, Tanda jalur kereta api di Kepulauan Simeulue, Aceh. Sumber: http://maps.library.leiden.edu / topographic maps 1913.

Pada November 1902 asisten residen mayor Van Daalen melakukan perjalanan ke pulau Simeulue tersebut, untuk mencari daerah yang sesuai untuk seorang pengusaha yang merencanakan mendirikan penebangan kayu, dan pilihan jatuh pada suatu daerah pada hutan-hutan disekitar teluk Duabang. Dalam bulan Maret 1903 diberikan izin penebangan sementara, dan beberapa tentara dibawah pimpinan seorang sersan ditempatkan di Duabang, demi keselamatan penebang,pada awalnya 50 orang cina.

Lokasi pengambilan kayu dan jalur rel di pulau Simeulue yang membelah hutan belantara. Foto: KITLV
Pada tanggal 7 September 1904 tempat tenda tersebut diserang. Beberapa orang meninggal dan semua kesepuluh senapan hilang, tetapi segera direbut kembali. Penelitian yang dilakukan oleh Ir. Jansen pada tahun 1902/3 tentang adanya batu bara di pulau tersebut, tidak menghasilkan sesuatu yang baik. Mayor Van Daalen diperjalanan ditemani oleh pengawas Westenenk, yang mengambil kesempatan ini mengumpulkan bahan untuk suatu “Daftar kata-kata Simaloer, yang diterbitkan dalam sumbangan T.L. & Vk. V. N.I. bagian 56, hal. 302, dan suatu karangan dengan judul “Simaloer: dalam terbitan ke-1 dari tahun 1904 dari Majalah Persatuan Ilmu Bumi Kerajaan Belanda.

Lintasan rel perusahaan kayu Simaloer di Poelau Simeuloeƫ di lepas pantai barat Aceh. Foto: KITLV
Konsesi-konsesi yang diberikan selanjutnya pada tahun 1906 diserahkan kepada Perusahaan eksplotasi hutan Aceh, dan pada bulan Oktober 1910 mereka pindah ke Perusahaan eksplotasi hutan Jawa, yang berlokasi Sinabang (hulu Sinabang). Di tempat penggergajian listrik tersebut melakukan eksploitasi hutan raksasa-raksasa yang memiliki sampai dengan tinggi 75 – 100 M ditebang, ditarik mengikuti cara-cara Amerika, dan seterusnya diangkut dengan rel kereta terutama pohon-pohon Rasak Shorea barbata Brandis, ke penampungan khusus yang digali oleh mesin pengali, dan dijadikan balok dan papan.

Jembatana Rel pada Jalur kereta api perusahaan kayu Simaloer di Pulau Simeuloeƫ di lepas pantai barat Aceh. Foto: KITLV

Pada tahun 1906 di Simaloer utara masih diberikan izin penebangan kayu kepada seorang pengusaha, yang bermukim di Sibigo. Konsesi mereka dialihkan kepada Perusahaan Kayu Simaloer Utara pada tahun 1912. Suatu penggabungan antara perusahaan hutan Jawa dan Perusahaan Penebangan Kayu Simaloer Utara terjadi dalam tahun 1917.

Emplasemen perusahaan penebangan Simaloer lengkap dengan jaringan keretanya di Pulau Simeuloeƫ di lepas pantai barat Aceh. Foto: KITLV
 Tercatat dalam sejarah ukuran rel serupa dipergunakan oleh perusahan NISM di pulau Jawa. Lokomotif yang diperguakan pun juga unik. Ada 3 Lokomotif yang sempat tercatat beroperasi di jalur angkutan kayu ini. Lokomotif-lokomotif tersebut adalah lokomotif 0-4-0T (Jerman) Climax type A, dan Climax type B (USA). Gerbong yang diperguankan untuk mengakut gelondongan kayu juga sudah didesain khusus dan memiliki bentuk yang sama persis seperti yang dipergunakan oleh perusahaan logging kayu di Amerika Serikat.

Lokomotif 0-4-0T (pabrikan jerman) sedang melangsir gerbong bermuatan gelondongan kayu di pelabuhan Sinabang, Simeulue, Aceh. Foto: Tropen Museum
Lokomotif-lokomotif yang dipergunakan di pulau Simeulue memiliki kriteria khusus,  seperti Lokomotif Climax yang memang didesain untuk angkutan kayu gelondongan dan logging. Selain itu kelebihan lokomotif ini memiliki tekanan beban gandar yang ringan sehingga cocok dipergunakan untuk industri ini. Kelebihan lokomotif model ini dapat melewati jalur rel yang tergolong tidak rata track bednya dan jelek kualitasnya.

Lokomotif Climax type C (pabrikan Amerika Serikat) yang sedang melangsir gerbong kosong di pelabuhan Sinabang, Simeulue, Aceh. Foto: Tropen Museum
Dengan ini sendiri sudah tercatat ada 3 unit lokomotif Climax yang pernah beroperasi di Hinda Belanda (Indonesia). 2 Climax type A. 1 berada di perhutani cepu (Tjabak) dengan ukuran lebar rel 1067mm dan 1 lagi berada di Simeulue Aceh dengan ukuran lebar rel 1435mm. Sedangkan Climax type B juga beroperasi di Simeulue Aceh dengan ukuran lebar rel 1435mm.

Mesin pengolahan kayu ditarik menggunakan kereta dari perusahaan penebangan kayu Simaloer di Poelau Simeuloeƫ di lepas pantai barat Aceh. Foto : KITLV

1 Lokomotif uap lain yang masih misterius adalah lokomotif uap dengan model roda 0-4-0T (pabrikan jerman) saya pribadi menduga lokomotif ini merupakan produk dari pabrikan Orenstein & Koppel (O&K)  yang di identifikasi dari bentuk lokomotifnya.

Sungguh disayangkan, minimnya dokumentasi dan data-data penunjang akan sejarah dan cerita mengenai jalur kereta api di Kepulauan Simeulue sangat minim. Diperkirakan jalur pengakut kayu ini di tutup pada tahun 1920an ketika krisis ekonomi melanda dunia. Sisa-sisa peninggalannya pun tak berbekas. Track bed, rel, maupun infrastruktur belum pernah terdokumentasikan setelah Indonesia merdeka. Nasip dari lokomotif-lokomotifnya sendiri kurang jelas, apakah dibesituakan di Simeulue atau dibawa keluar pulau untuk dipergunakan di tempat lain.

Sumber : https://jalanbaja.wordpress.com/2017/01/07/jejak-rel-di-pulau-simeulue-aceh/ 

Jumat, 20 Maret 2020

KEMBALINYA JALUR KERETA PADANG - PULAU AIR

Padang - Jalur kereta api Padang-Pulau Air (Pulau Aie) di Sumatera Barat hidup lagi setelah mati suri selama 43 tahun. Jalur kereta api ini membentang sepanjang 2,7 kilometer dari Stasiun Padang, Stasiun Tarandam di Padang Timur hingga Stasiun Pulau Air di Kawasan Muara Padang. 

Jalur Padang - Pulau Air merupakan bagian dari jalur Pulau Air - Padang Panjang yang diresmikan Diresmikan pada tanggal 1 Juli 1891 oleh Staatsspoorwegen ter Sumatra's Westkust yang kini menjadi bagian dalam Divisi Regional II Sumatra Barat.

Dibangun sekitar tahun 1900, untuk kepentingan angkutan penumpang dan barang dari dan ke pelabuhan sehingga merupakan stasiun dan jalur kereta api pertama yang dibangun pemerintah Hindia Belanda di Padang sekaligus di Ranah Minang. Jalur ini adalah bagian dari jalur Padang-Padang Panjang sejauh 71 km yang mulai dibangun sejak 6 Juli 1889.

Jalurnya digunakan sebagai sarana angkut batu bara dari Ombilin Kota Sawahlunto menuju pelabuhan Muaro Padang sebelum Pelabuhan Emmahaven (Pelabuhan Teluk Bayur) dibangun kemudian harinya.


Peta lama jalur kereta Pulau Air-Padang. Foto: searail.malayanrailways.com

Namun jalur ini telah dihentikan operasinya sejak tahun 1983 akibat kalah bersaing dengan moda transportasi darat lainnya.

Reaktivasi jalur ini mulai digaungkan pada Desember 2013. Pada saat itu, PT KAI Divre II Sumatra Barat mulai melakukan pendataan dan penertiban terhadap rumah-rumah warga di pinggir jalur rel serta lapak Pasar Tarandam yang menempati bekas jalur kereta api. Proyek ini semula bertujuan agar kereta api dapat menjangkau Kota Tua Padang serta Pelabuhan Muaro.

Berdasarkan pernyataan dari Kepala Balai Teknik Perkeretaapian Kelas II Wilayah Sumatera Barat, Proses penyelesaian reaktivasi ini memakan waktu sekitar 6 bulan yaitu sejak Juli 2019 hingga Desember 2019 dengan memakan biaya lebih kurang 42 milyar. Setelah proses selesai, baru dilakukan pengujian dan assessment sampai benar-benar jalurnya layak dilewati dan dioperasikan mengingat bahwa jalur ini sudah lama tidak dilalui kereta api.

Selama proses reaktivasi ini pembebasan lahan menjadi kendala utama. Pasalnya jalur-jalur kereta ini sudah ditempati oleh masyarakat sekitar. Begitu juga untuk stasiun Pulau Air ini merupakan salah satu cagar budaya yang bangunannya harus dilestarikan dan tidak boleh diubah untuk menjaga budaya dan keasliannya.

Adapun, lingkup kegiatan reaktivasi ini antara lain adalah penggantian rel 33 dengan rel 54 dan sterilisasi jalur KA di Km 0+000 s/d 2+950 km termasuk spoor 1 di emplasement Stasiun Padang, pembangunan Stasiun Tarandam dan fasilitas pendukungnya, peningkatan jembatan BH 36 Km 1+793 bentang 15 M antara Stasiun Padang - Stasiun Pulau Air dan pembangunan/pemugaran Stasiun Pulo Air yang merupakan cagar budaya.


 Ujicoba perdana jalur menggunakan Lori Dresin. Foto: KPKD2SB
Sepanjang jalur ini, terdapat delapan perlintasan sebidang yang dilewati pada rute Stasiun Pulai Air menuju Stasiun Padang yaitu di Jalan Sawahan, Jalan Dr Wahidin, Jalan Proklamasi, Jalan Akses Warga di Tarandam, Jalan Husni Tamrin, Jalan Belakang Pondok dan Jalan Pulau Air. Mengantisipasi kecelakaan yang sering terjadi di perlintasan kereta Kota Padang, pihak PT KAI Divre 2 juga telah memasang plang dan membangun pos serta menempatkan petugas.


Salah satu perlintasan sebidang di jalur Padang-Pulau Air. Foto: Detik

Dengan beroperasinya jalur ini, potensi wisata di daerah sekitar antara lain Kota tua, Jembatan Siti Nurbaya, dan lainnya akan lebih mudah diakses serta diharapkan bisa memudahkan masyarakat karena waktunya bisa lebih cepat dan tepat. Begitu juga lokasinya yang dekat kawasan muara Padang sehingga memudahkan penumpang dari Bandara untuk menyebrang ke Mentawai.



Jalur kereta ini terakhir beroperasi pada 1977 silam. Reaktivasi jalur ini meliputi peningkatan jalur kereta api dan sterilisasi seperti pembangunan pagar. Kemudian melakukan peningkatan jembatan, pembangunan Stasiun Tarandam, serta Restorasi dan pembangunan stasiun Pulau Air.

Stasiun Pulau Air

Stasiun berkode PLA ini berada di km 0+000. Stasiun ini juga dieja dengan nama bahasa Melayu Pulau Air dan nama lama Puluaer—merupakan stasiun kereta api nonaktif kelas I yang terletak di Pasa Gadang, Padang Selatan, Padang

Sejak berdirinya stasiun ini hingga awal tahun 1980-an, keberadaan stasiun ini menjadi pilihan utama jalur perdagangan di Sumatera Barat. Pada tahun 1950-an alat transportasi darat yang menghubungkan Kota Padang dengan daerah pedalaman adalah kereta api, selain bendi dan pedati. Kemudian pada tahun 1960-an, stasiun Pulau Air selalu ramai dikunjungi calon penumpang dan aktivitas bongkar muat barang yang akhirnya membuat perekonomian di daerah ini menggeliat. Lokomotif yang berdinas disini diinapkan di dipo lokomotif yang posisinya tidak jauh dari Stasiun Pulau Air.

Stasiun ini merupakan stasiun pertama yang dibangun oleh pemerintahan kolonial Belanda di Kota Padang, Sumatra Barat. Stasiun ini merupakan stasiun ujung sebelum menuju Pelabuhan Muaro yang percabangannya dari Stasiun Padang. Stasiun yang terletak pada ketinggian +2 meter ini termasuk dalam Wilayah Aset Divre II Sumatra Barat serta merupakan bagian dari pengaktifan kembali jalur-jalur kereta api di Sumatra Barat.

Stasiun Pulau Air saat masih melayani kereta penumpang pada tahun 80an. Sumber: Twitter @MinangOfficial
Emplasemen Stasiun Pulau Air tahun 1915. Foto; KITLV
Penampakan proses revitalisasi Stasiun Pulau Air. Foto: Antaranews
Lokomotif BB 303 saat uji coba di Stasiun Pulau Air. Foto: Dephub

Proses Uji Coba beban dengan menggunakan lokomotif. Foto:Detik

Stasiun Pulau Air setelah di revitalisasi. Foto: Kemenhub

Sejak tahun 2007, Pemerintah Kota Padang resmi menetapkan stasiun ini sebagai cagar budaya berdasarkan inventaris Balai Pelestarian Cagar Budaya No. 69/BCB-TB/A/01/2007.



Ke arah barat daya stasiun ini sebenarnya masih memiliki kelanjutan jalur menuju Pelabuhan Muaro, tetapi jalur itu tidak ikut direaktivasi. Setelah direaktivasi, stasiun ini akan menjadi terminus kereta api bandara.


Jalur kereta menuju pelabuhan Muaro Padang. Foto: KITLV



Stasiun Tarandam

Stasiun Tarandam (TDA) berada di Km 1+171 atau tepatnya di Jalan Proklamasi, Ganting Parak Gadang, Padang Timur, Padang. 

Halte yang terletak pada ketinggian +4,238 meter ini termasuk dalam Divisi Regional II Sumatra Barat serta berdekatan dengan Pasar Tarandam.

Berdasarkan data dari Staatsspoorwegen ter Sumatra's Westkust, nama halte ini dahulu dieja sebagai Terandam (Stopplaats Terandam). Halte ini kemungkinan ikut dinonaktifkan bersama dengan penutupan jalur cabang Padang–Pulau Aie pada tahun 1980-an.

Halte Kereta Api Tarandam 1980. Foto: @dispusippadang
Penampakan Stasiun Tarandam di malam hari: Foto: KPKD2SB
Sehubungan dengan proses reaktivasi jalur kereta api Padang–Pulau Aie, Direktorat Jenderal Perkeretaapian mengaktifkan lagi halte ini. Bangunan halte saat ini sedang dibangun dengan arsitektur yang lebih modern dan lebih luas. Dengan selesainya reaktivasi, halte ini direncanakan akan memiliki satu jalur kereta api dengan peron tinggi. Halte ini akan dimanfaatkan oleh pedagang dan pengunjung Pasar Tarandam untuk berjualan.

Prasarana Kereta
KA Bandara Minangkabau Express saat stabling di Stasiun Pulau Air. Foto: Dephub

Kereta api Perintis Minangkabau Ekspres akan melayani penumpang sampai ke stasiun Pulau Air mulai tanggal 12 Maret 2020. Sebagai bentuk sosialisasi dan menumbuhkan minat masyarakat untuk menggunakan kereta api, pemerintah menggratiskan lintas pelayanan Bandara - Padang - Pulau Air selama 10 hari yakni dari tanggal 12 sampai dengan 22 Maret.

Selanjutnya mulai tanggal 23 Maret 2020 tarif kembali normal menjadi Rp 5.000 bagi penumpang reguler (tidak perjalanan dari/ke bandara) dan Rp 10.000 bagi yang melakukan perjalanan dari/ke bandara.


#keretadipadang #sejarahkeretapadang #stasiunpulauair #kabandaraminangkabauexpress