Senin, 30 Maret 2020

SEJARAH PERENCANAAN JALUR KERETA TAPANULI

Tapanuli adalah sebutan/panggilan umum orang kebanyakan untuk daerah-daerah yang berada dipesisir pantai barat provinsi Sumatra Utara yang asal katanya dari "Tapian Nauli" yang berarti Tepi Sebelah Barat, dibatasi oleh Dataran Aceh Tenggara, Danau Toba dan pegunungan Bukit Barisan di sebelah tengah yang dengan itu memisahkan Tapanuli dengan pesisir timur provinsi Sumatra Utara yang kerap disebut Sumatra Timur atau daerah Melayu Deli.

Di masa Hindia Belanda, daerah ini merupakan bagian administrasi yang diberi nama Residentie Tapanoeli atau "Karesidenan Tapanuli". Tapanuli diberi nomor polisi kendaraan (BB) yang berbeda dari daerah lain di Sumatra Utara (BK) (Terutama dengan daerah Sumatra Timur).

Pada periode 1910-1920 di Tapanuli, hasil karet, kopi dan komoditas lain, serta hasil hutan semakin meningkat, khususnya di daerah Batangtoroe. Saat itu seluruh produk harus diangkut melalui jalan utama Padangsidempoean - Batangtoroe - Sibolga untuk kemudian diangkut menggunakan kapal ke tempat tujuannya. 

Perhatian pemerintah pernah tertuju pada pentingnya rute lalu lintas ini. Laporan tentang rencana pembangunan kereta api Sumatera Tengah menunjukkan manfaat dari adanya kereta api dari Sibolga ke Penjaboengan, yang kemudian akan menghubungkan Padanglawas dengan jalur utama. Pada tahun 1919, Perusahaan Kereta Api Negara (Staatsspoorwegen/S.S.) mulai mencari jalur yang tepat untuk koneksi tersebut dan sudah mulai sibuk dengan pekerjaan persiapan untuk pembangunan jalur sejauh 60 km lintasan datar dan 28 km jalur pegunungan. 


Namun pada tahun 1924, melalui kajian dan kalkulasi yang diperbarui terkait jalur Sibolga - Padang Sidempoean ini, terungkap bahwa proyek ini akan membutuhkan pembiayaan dengan jumlah lebih dari 11,5 juta gulden (atau sekitar 13,5 juta gulden termasuk bunga konstruksi), atau 163 ribu gulden per km. Dengan kata lain, ini akan menjadi jalur yang sangat mahal. Tentu saja, jalur mahal yang melintasi daerah dengan perusahaan perkebunan yang relatif sedikit tidaklah menguntungkan. Bahkan perhitungan kerugian pada biaya operasi jumlahnya akan naik menjadi lebih dari tiga perempat juta gulden. 

Pada situasi ini, S.S. tidak lagi tertarik untuk membangun jalur yang sudah jelas tidak akan menguntungkan. Selain itu, pembangunan jalan raya untuk transportasi mobil di sepanjang jalan Padang Sidempuan ke Sibolga saat itu juga telah dikembangkan dengan sangat baik sehingga dapat dijelaskan bahwa tidak ada lagi kebutuhan untuk kereta api yang berbiaya mahal pada daerah ini. 

Untuk saat ini, pembangunan jalur KA Sibolga–Padangsidimpuan–Rantauprapat juga sudah masuk Rencana Induk Perkeretapian Indonesia walau dalam prioritas rendah. Di Rencana Induk dijelaskan, sasaran pengembangan jaringan jalur kereta api di Pulau Sumatera adalah mewujudkan Trans Sumatera Railways dan menghubungkan jalur kereta api eksisting yang sudah ada yaitu di Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Utara, Riau, Sumatera Barat, Sumatera Selatan dan Lampung menjadi jaringan jalur kereta api yang saling terhubung.



Saat ini kereta api tidak ada di Tapanuli. Sejauh ini bahkan tidak pernah terdengar sekalipun ‘kabar burung’ tentang rencana pembangunan kereta api di Tapanuli. Yang ada hanyalah jalan raya, yang menurut kabar berita, kondisinya sangat buruk terutama jalur antara Padang Sidempuan dan Sibolga via Batang Toru. Padahal, jalur ini di masa lampau merupakan jalur terbaik (aspalnya mulus) dan sangat ramai (arus barang dan orang sangat tinggi, pp). Bahkan ketika jalan raya ini pada top performance, pemerintah di Batavia sudah menganggarkan biaya pembangunan jalan kereta api Tapanuli tahap satu: Padang Sidempuan dan Sibolga.

Sejak ibu kota Afdeeling Mandheling en Ankola dipindahkan ke Padang Sidempuan 1870, kota ini terus berkembang pesat sebagai sentra kopi di Tapanoeli. Selain itu kota ini juga pusat pendidikan dan pusat Eropa (yang mana orang-orang Eropa/Belanda) cukup tinggi konsentrasinya. Untuk memfasilitasi pebangunan tersebut, lalu 1879 dibangun jembatan Batang Toru dengan beton, besi baja menggantikan jembatan kabel telegraf sebelumnya. Jembatan Batang Toru ini selesai tahun 1883 yang merupakan jembatan terpanjang di Nederlandsch Indie (baca: Indonesia). Pada akhir tahun 1890an, para investor sudah mulai membuka perkebunan di sekitar Batang Toru. Sejak 1902 hingga 1915 tidak kurang dari sebelas perusahaan besar swasta berinvestasi di Loemoet, Batang Toru, Anggoli, Huraba, Marancar, Sangkoenoer, Pijor Koling dan Simarpinggan. Intensitas yang tinggi di Batang Toru menyebabkan Batang Toru menjadi pusat industri perkebunan di Tapanuli. Orang-orang Eropa semakin banyak dan bahkan telah jauh melampaui jumlah orang Eropa/Belanda di Padang Sidempuan maupun di Sibolga. Orang kaya baru juga muncul dimana-mana, yang menjadi kaya tidak hanya investor asing tetapi juga para investor local bahkan pekebun-pekebun biasa. Arus komoditi karet mengalir ke Sibolga, sebaliknya arus dollar juga mengalir ke daerah perkebunan. Pada saat itu, pemerintah meningkatkan kualitas jalan raya (mulus) hingga sekelas jalan raya Medan-Pematang Siantar dan jalan raya Padang-Bukit Tinggi. Di atasnya jalan raya kelas-A antara Sibolga-Padang Sidempuan lalu lalang mobil-mobil sedang terbaru, truk-truk besar, dan bis angkutan umum serta sepeda motor. Kontras jika dibandingkan pada tahun 1880an ketika jembatan Batang Toru baru selesai dibangun hanya yang melintas, padati dan kuda beban untuk mengangkut kopi dan orang serta barang lainnya antara Padang Sidempuan dengan Sibolga. Pada saat ini pelabuhan Loemoet masih berfungsi untuk mengepul komoditi kopi dan produk pertanian lainnya untuk diteruskan ke Padang via pelabuhan Djaga-Djaga.  

Pemerintah Kolonial di Batavia melihat kemajuan pesat di Tapanuli, khususnya afd. Sibolga dan afd. Mandheling en Angkola, maka diputuskan untuk mulai merencanakan pembangunan jalur kereta api. Ini dimaksudkan agar terjadi efisiensi perekonomian dan efektivitas pemerintahan. Ini juga dipicu oleh Residentie Tapanoeli sudah dipisahkan dari Province Sumatra’s Westkust sejak 1905 dan Residentie Sumatra’s Oostkust beribukota Medan ditingkatkan menjadi province. Sejalan dengan ini afdeeling Mandheling en Ankola diubah namanya menjadi afdeeling Padang Sidempuan.  

Bataviaasch nieuwsblad. 24-05-1918 (Jalan Trem Jalan di Wilayah Luar): ‘Dari Laporan Anggaran. Secara prinsip sudah diberikan langsung pada dua rencana trem baru di luar (Djawa), yaitu: 1. Jalur sepanjang Residentie Tapanoeli. Jalur ini akan berjalan dari Sibolga (tempat ibukota Resindetie) via Batang Toroe ke Padang Sidempoean, panjang lebih kurang 93 Km (Pelabuhan, Sibolga, BantangToroe, Padang Sidempoean). 

Potensinya untuk untuk memenuhi sebagian afd. Padang Sidempoean, Residentie Tapanoeli, setidaknya untuk wilayah dengan sekitar 150.000 penduduk, dengan pelabuhan Sibolga dan industry perkebunan Batang Toroe sebagai debit di barat pegunungan Bukit Barisan, dimana jalur antara Oost-West masih terdapat hambatan besar. 

Selain itu, pada atau dekat jalan utama dari Padang-Sidempoean ke Sibolga sudah ada perusahaan perkebunan karet dan kopi orang Eropa, sementara budaya peningkatan yang diharapkan daripenduduk cukup besar. Sistem lalu lintas sekarang memerlukan perbaikan mendesak. Ini sudah lama dirasakan oleh individu, yang tercermin dalam serangkaian permintaan untuk konsesi untuk pembangunan trem. Juga dari sisi resmi sudah dilakukan rapport pada survei lapangan dan rencana kereta api untuk Sumatra bagian Tengah dibawah Gcuvernementsbesluit tanggal 14 Juni 1907. 

Prospek lainnya adalah para wisatawan atau migrant antar daerah yang melalui jalan Padang – Medan. Meskipun jalur trem di tahun-tahun awal untuk tingkat sekarang tidak dapat dianggap langsung menguntungkan, mungkin demikian diasumsikan bahwa di pedalaman Padang Sidempoean yang memiliki lembah subur, Angkola dan Groote Mandailing akan memerlukan investasi transportasi untuk mengembangkan intensifikasi cultuur, dimana di daerah itu juga kini daerah itu sudah mulai ada perusahaan Eropa yang membangun plantation dan berkembang lebih besar. Seperti ini datang untuk berbaring di daerah di mana sudah mencapai hasil yang menguntungkan dengan perusahaan budaya, tentu dapat diasumsikan bahwa kesempatan yang ditawarkan untuk para investor baru akan lebih bersemangat. 

Jalur trem diharapkan dalam ukuran standar (1.067 M) dan akan direalisasikan dengan panjang 88 Km, dimana sekitar 60 Km sebagai jalur landai dan 28 Km sebagai jalur pegunungan. Biaya konstruksi diberikan oleh Tapanoeli Society (himpunan perusahaan Tapanoeli). Direktur society telah membuat prioritas untuk pembangunan trem konsesi dan dalam rangka ekstensifikasi, dan rencana awal diperkirakan sebesar f9.000.000, sarana operasional f470.000 dan biaya operasional f355.000. Meskipun dibantu Negara, dari survei yang telah dilakukan secara umum dengan pasti cukup besar bahwa jumlah tersebut diatas untuk biaya konstruksi diperkirakan sudah lebih dari cukup dan bahwa hasil keuangan perusahaan akan menjadi penting menguntungkan kemudian menunjukkan angka di atas. 

Perusahaan-perusahaan TapanoelI sedang dinegosiasikan, yang bersama-sama dengan negara yang memiliki pandangan yang sama dalam mendirikan satu perusahaan kereta api dengan izin prinsip yang diuraikan di atas dalam posisi yang membuka kemungkinan untuk penciptaan satu perusahaan Tapanoeli Tramweg lebih lanjut. Rencana ini, bagaimanapun tidak, yakin bahwa perusahaan tahun ini atau paling lambat pada 1919 akan terwujud’.

Gambar yang memperlihatkan aktivitas transportasi kotak-kotak berisi komoditas karet dengan menggunakan rel di sebuah gudang dari perusahaan perkebunan di Sibolga, Tapanuli. Karena keterbatasan informasi yg didapat terkait foto ini, maka informasi pasti terkait nama perusahaan perkebunan dan tahun pengambilan foto belum diketahui. Namun bila menduga-duga, maka kemungkinan perusahaan yang dimaksud adalah N.V. Rotterdam Tapanoeli Cultuur Maatschappij atau N.V. Amsterdam Tapanoeli Rubber Cultuur Maatschappij, yang saat itu merupakan perusahaan karet terbesar di Tapanuli (Sibolga - Batangtoru - Padangsidimpuan) pada periode 1910-1930.
Pada akhir tahun 1919 rencana pembangunan jalur kereta api Tapanuli ruas Padang Sidempuan dan Sibolga semakin mengerucut. Setelah melalui pembicaraan di Dewan (Volksraad), dan telah disetujui maka pembangunannya tinggal menunggu waktu: persiapan, pengukuran dan pelaksanaan.

Het Vaderland: staat- en letterkundig nieuwsblad, 23-12-1919 (Anggaran): ‘Item berikutnya adalah pengaturan pengeluaran Nederlandsch-Indie untuk tahun 1920, dalam mendukung pembangunan kreta api di Noord  Cheribon dari Tjiteureup ke Madjalaja (Preanger Regency) dan Sibolga via Batang Taroe ke Padang Sidempoean (Tapanoeli)’.

Sementara itu di Bandung rencana pembangunan jalur kereta api ruas Padang Sidempuan  dan Sibolga terus dimatangkan. Kegiatan sudah sampai kepada pelelangan siapa yang menjadi pimpro dan tenaga-tenaga ahli yang dibutuhkan untuk pembangunan rel kereta api tersebut.

Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 07-02-1920 (Railway Pertama Tapanoeli):  ‘Kantor Informasi Provinsi, Kota dan Bisnis Nederlandsch Indie yang ada  Bandung membutuhkan seorang insinyur dan seorang supervisor untuk kinerja kontrak kereta api di Sumatera. Vermoedelflk hal ini berhubungan dengan pembangunan kereta api Negara parta di Tapanoeli, disebutkan dalam anggaran untuk tahun 1920 akan berjalan dari Tapanoeli ini ibukota Sibolga, dan ibukota Asisten Residensi Padang Sidempoean sepanjang rute yang sama dengan layanan SS mobil ini, yakniL Siroedoet, Pasar Baru, Kalangan, Loeboelapian Loemoet, Anggoli, Batang Toroe, Sianggoenan, Siharang-karang dan Hutaimbaroe. Dengan tambahan untuk langsir, akhirnya ke Sibolga kereta api akan membutuhkan panjang sekitar 100 Km. Kereta api Tapahoeli akan mungkin diperluas ke selatan untuk Penjaboengan sejauh 70 Km. dan Kota Pinang ke Timur Laut, dimana kereta api Deli dapat diperpanjang di masa yang akan datang’.

Namun semua niat dan upaya itu, tak menduga pada tahun 1920 sudah terasa denyut ekonomi dunia yang semakin melemah. Pelan tapi menyeramkan, resesi dan bahkan datang depresi ekonomi tidak tertahankan. Proyek jalur kereta api trans Tapanoeli lambat laun beritanya semakin sepi, memudar lalu layu sebelum berbuah. Akhirnya, nasib Tapanoeli sebagaiman daerah-daerah lainnya, banyak program pembangunan yang harus dihentikan. Proyek kereta api Tapanoeli gagal terlaksana (lihat De Sumatra post, 20-10-1926).

Staatstramwegen in Tapanoeli

Staatstramwegen in Tapanoeli adalah perusahaan trem uap yang juga merupakan divisi dari Staatsspoorwegen yang berencana mengeksploitasi dan menginisiasi pembangunan jalur trem di wilayah Keresidenan Tapanuli.

Dengan merujuk pada buku Korte Geschiedenis der Nederlandsch-Indische Spoor- en Tramwegen karya Steven Anne Reitsma, pada tahun 1897, G.P.J. Caspersz mengajukan hak konsesi pembangunan jalur trem uap di wilayah Keresidenan Tapanuli. Ketika itu, beliau ingin membangun jalur trem uap dari Sibolga sampai dengan Garoga dengan lebar sepur 700 mm (2 ft 3 9⁄16 in). Permintaannya pun dikabulkan pemerintah Hindia-Belanda saat itu dengan diterbitkannya Gouvernment Besluit 14 April 1899. Meskipun konsesi telah diberikan, realitanya pembangunan jalur trem uap Sibolga–Garoga tak pernah digarap olehnya selaku inisiator.

Rencana jalur kereta Sumatera era kolonial Belanda
Pada tahun 1911, rencana pembangunan trem uap kembali mencuat. Ketika itu, Tuan Ruys mengajukan proposal rencana prioritas pembangunan trem uap di wilayah Keresidenan Tapanuli kepada Pemerintah Kolonial Hindia-Belanda. Setelah bernegosiasi, rencana pengembangan trem uap akhirnya dipertimbangkan dengan solusi dibentuknya perusahaan gabungan yang mengelolanya. Steven Anne Reitsma juga menyebutkan bahwasanya perusahaan yang dibentuk bernama Staatstramwegen in Tapanoeli. Selanjutnya pada tahun 1919, disusunlah rancangan anggaran yang rencananya akan digunakan untuk pembangunan jalur trem uap di Tapanuli.

Setelah dibentuk, Staatstramwegen in Tapanoeli ketika itu hendak membangun jalur trem trem uap yang menghubungkan Sibolga–Batang Toru–Padang Sidempuan. Di awal tahun 1920, Pemerintah Kolonial Hindia-Belanda menerbitkan Gouvernment Besluit 28 Februari 1920 Ind. stbl No. 150 guna memperlancar proses pembangunan jalur trem uap.

Iman Subarkah dalam bukunya yang berjudul "Sekilas 125 Tahun Kereta Api Kita", menyatakan bahwa pada tahun 1922 telah dilakukan studi pembangunan lintas Sibolga–Padang Sidempuan. Trasenya sendiri direncanakan akan memiliki panjang sekitar 80 km. Selain itu, rencananya lintas ini juga dihubungkan sampai ke Kota Pinang dan Lubuk Sikaping.

Namun, karena kekurangan dana akibat Depresi besar proses konstruksi jalur trem uap tersebut ditunda untuk sementara waktu. Dan pada tahun 1927, secara definitif Staatsspoorwegen menghentikan seluruh konstruksi Staatstramwegen in Tapanoeli.

Iman Subarkah menilai bahwa pembangunan jalan besi di daerah tersebut tidak dianjurkan karena trasenya melewati pegunungan serta kalah bersaing dengan angkutan jalan raya. Nama Staatstramwegen in Tapanoeli dan rencana jalur trem uap yang diprogramkannya pun sirna. Dan praktis saja Staatstramwegen in Tapanoeli menjadi satu-satunya perusahaan perkeretaapian di Hindia-Belanda yang tidak pernah mengoperasikan satu pun jalur kereta apinya.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar