Rabu, 01 April 2020

JALUR REL SEMPIT DI PEDALAMAN RIMBA BENGKULU


Tahukah kamu bahwa pucuk emas di Monumen Nasional (Monas) Jakarta, berasal dari suatu desa terisolir, Lebong Tandai, Kecamatan Napal Putih, Kabupaten Bengkulu Utara, pedalaman Provinsi Bengkulu. Bongkah emas itu dibawa oleh seorang pengusaha terkemuka asal Aceh bernama Teuku Markam di era Presiden Soekarno, sebagai bagian dari proyek pembangunan Monas pada 1959 silam.

Desa Lebong Tandai pernah menjadi kawasan primadona di wilayah Nusantara. Jauh sebelum perusahaan tambang emas Freeport berkuasa, harumnya komoditas emas sudah tercium lebih dahulu dari wilayah barat Indonesia itu. Pemerintah kolonial Belanda menyadari  betul potensi alam ini, meskipun Lebong Tandai berada di pedalaman dan sulit dijangkau. Tak salah bila Lebong Tandai dijuluki sebagai Batavia Kecil, karena  posisinya yang amat penting dalam menunjang perekonomian pemerintah kolonial.

Jauh sebelum Belanda datang, masyarakat sekitar sudah mengenal Lebong Tandai sebagai Svarnadwipa atau Pulau Emas. Wilayah ini menjadi lebih kesohor  lantaran Alex L. ter Braake, penulis buku Mining in the Netherlands East Indies (1944), menuliskan bahwa pada tahun 1910, sebuah perusahaan tambang emas asal Belanda, Mijnbouw Maatschappij Simau, memutuskan untuk mengelola tempat itu menjadi area operasional.


Di tahun itu pula, perusahaan yang baru berumur  sembilan tahun tersebut membuat terowongan dan rel kereta sebagai bagian dari konstruksi pertambangan. Mereka menjadi perusahaan pertama yang melakukan eksploitasi emas secara besar-besaran di Nusantara.

Rata-rata setiap tahun tambang emas Lebong Tandai menghasilkan 1 ton emas. Pada 1937, misalnya, produksi emas Lebong Tandai mencapai 1.095.538 gram.Periode 1900-1940 menjadi masa keemasan tambang ini, karena mampu memproduksi 72 persen dari semua emas Netherlands East Indies yang totalnya mencapai 123 ton. Secara keseluruhan, ada tiga lokasi emas yang mereka kelola yaitu di Air Nuar, Lebong Tandai dan Karang Suluh.

Lebong Tandai adalah kota kecil yang mewah untuk ukuran zaman itu. Mijnbouw Maatschaappij Simau membangun beberapa fasilitas seperti lapangan tenis, lapangan basket, rumah sakit, rumah bola (billiard), hingga rumah bordil yang popular dengan sebutan rumah kuning.

Pembangunan fasilitas rumah bordil bahkan ditiru oleh PT Lusang Mining, perusahaan asal Australia yang menguasai wilayah ini pada tahun 1980-an, agar para pekerja tak mengajak keluarga tinggal di mess karyawan.

Bentuk Kereta bermesin Diesel milik PT Lusang Mining yang membuka pertambangan di Desa Lebong Tandai pada tahun 1980-an/internationalsteam.co.uk
Pada zaman Belanda, segala fasilitas ini sengaja dibangun untuk memenuhi kebutuhan para pekerja tambang yang kebanyakan didatangkan dari Jawa, sekaligus para petinggi dan pasukan keamanan Belanda.

Tak hanya itu, pemerintah Belanda juga kerap mendatangkan penari ronggeng dari Jawa sebagai hiburan. Hal ini dibuktikan dengan nama sebuah jembatan menuju Lebong Tandai yaitu jembatan Dam Ronggeng I dan Ronggeng II. Kemudian tambang emas ini juga sempat dikuasai Jepang  pada 1943 hingga 1945 ketika negeri Matahari Terbit itu, mendarat di Tanah Air sebelum akhirnya diambil alih pemerintah baru Indonesia.

Emas dari Lebong Tandai terkenal dengan sebutan emas si molek, karena alat pengangkut emas atau lori di Lebong Tandai dinamai si molek. Kereta angkut ini berjalan di atas rel sekitar 33,5 km menuju tambang.

Jalur kereta api (garis hitam) dalam peta lama Bengkulu. Sumber: http://legacy.lib.utexas.edu/
Penggunaan lori diperlukan karena jalur ini sangat rawan longsor. Jalur ini diapit oleh dinding tebing setinggi 25 meter dan bibir sungai yang curam. Sehingga memerlukan alat angkut yang dinilai tepat dan aman, tempat pengolahannya pun masih sederhana. Para penambang menggunakan gelundung yang berbentuk silinder, panjang diameternya mencapai 30 cm dan terbuat dari pelat baja.

Rel lori, saat itu untuk mengangkut emas dari Desa Air Tenang hingga Desa Lebong Tandai. Rel itu sendiri dibangun oleh Belanda tahun 1904 an. Namun, setelah Indonesia Merdeka, Belanda meninggalkan Desa Lebong Tandai tahun 1947. Jaringan rel angkutan tambang dibangun Belanda tahun 1904-an dengan melibatkan warga asli Lebong Tandai melalui sistem kerja paksa. Waktu itu, warga menggunakan Lori Kodok dalam arti kereta kecil yang menggunakan tenaga manusia dengan cara mendorong. Terakhir lori tambang emas beroperasi sekitar tahun 1947-an seiring Kerajaan Belanda mengakui kedaulatan NKRI. Setelah Belanda meninggalkan Lebong Tandai, Lori milik Belanda masih digunakan warga untuk transportasi menuju ke pusat kecamatan dan mengangkut bahan pangan serta hasil penambangan emas.

Seiring perjalanan waktu, pada tahun 1997 lori yang selama ini digunakan warga diubah menjadi Molek. Molek yang mampu mengangkut sampai 12 penumpang itu diciptakan oleh Wan Tanggang, warga asli Lebong Tandai. Molek menggunakan mesin diesel 10 PK untuk memutar roda lori yang dihubungkan dengan rantai berukuran besar. "Molek menggunakan mesin diesel ex copotan mobil bekas. 

Perjalanan dengan menggunakan Molek menuju Lebong Tandai dilakukan sore hari yaitu sekitar pukul 17.00 WIB hal ini guna menghindari terjadinya tabrakan dikarenakan Molek dari Lebong Tandai tiba di Napal Putih pukul 16.00 WIB. Mengingat jalur rel hanya satu, jika terpaksa bertemu dengan Molek yang lain yang berlawanan arah atau ada Molek yang macet dijalan maka salah satu Molek dapat disingkirkan keluar rel, cukup hanya dengan tenaga 3 orang Molek itu dapat diangkat keluar rel. Biasanya, para "Masinis" Molek memilih untuk berjalan beriringan, hal ini dimaksudkan untuk mempermudah perjalanan jika ada hambatan. Perjalanan menjelang hari mulai gelap ini, memberi kesan tersendiri bagi mereka yang menyukai wisata alam karena kita hanya bisa melihat hutan dikanan kiri dan Molek yang berjalan didepan atau dibelakang Molek yang kita tumpangi.

Sebelum tiba di Desa Lebong Tandai, penumpang akan melewati areal yang dinamakan Ronggeng, Sumpit, Lobang Batu, Muaro Lusang. Lalu menyusuri rel yang membelah hutan sambil menikmati bunyi-bunyian binatang malam, melintasi kawasan yang bernama gunung tinggi, kuburan cina, sungai landai, terowongan lobang panjang, lobang tengah dan terowongan lobang pendek.

Salah satu sudut Desa Lebong Tandai atau Batavia Kecil di Kabupaten Bengkulu Utara
Jembatan rel di Desa Lebong Tandai
Sebelum tiba di desa Lebong Tandai kita akan melewati 3 terowongan yaitu lobang panjang, lobang tengah dan lobang pendek. Terowongan lobang panjang itu memiliki panjang sekira 100 Meter, sementara lobang tengah memiliki panjang sekira 50 meter dan terowongan lobang Pendek dengan panjang sekira 25 meter. Setelah melewati berbagai terowongan itu penumpang akan tiba di desa Lebong Tandai. Di mana perjalanan dari stasiun Air Tenang hingga pusat desa Bata. Pemandangan desa ini pada malam hari mengingatkan kita pada suasana kehidupan para penambang di film-film Hollywood yang mengambil latar kehidupan tambang.

Semua orang pasti akan takjub bercampur kagum betapa tidak, setelah melewati perjalanan selama 3,5 jam, yang pemandangannya hanya hutan, tiba-tiba didepan kita terbentang sebuah desa yang penuh dengan nuansa modern. Listrik yang terang benderang dan tak pernah mati memancar dari setiap rumah dan sudut desa, dan hampir ditiap rumah memiliki pesawat TV walaupun ukuran kecil. Alat elektronik seperti TV, Radio dan sejenisnya adalah salah satu hiburan bagi masyarakat yang hidup didaerah terpencil ini.

Berbicara tentang hiburan memang tradisi itu sudah cukup lama tertanam dimasyarakat. Pantas saja, dengan posisi terpencil dan jauh dari dunia luar, perusahaan Mijnbouw Maatschappij Simau milik Belanda tahun 1910 masuk ke Lebong Tandai dan menguasai tambang ini dibangun kamar bola (tempat bermain billyard), lapangan basket, lapangan tenis, rumah kuning (rumah bordil/lokalisasi) dan bioskop. Hanya bioskop dan rumah kuning yang bangunannya sudah tidak ada lagi.

Kecelakaan

Motor Lori Ekspress (Molek) peninggalan Belanda yang aktif digunakan warga Desa Lebong Tandai, sebagai kendaraan keluar masuk dari pelosok hutan menuju Kecamatan Napal Putih, Senin malam, 4 September 2017, tergelincir ke jurang.

Meski tidak ada korban jiwa malam itu, sedikitnya 16 orang yang hendak menuju Desa Lebong Tandai mengalami luka-luka. Diduga penyebab kecelakaan karena rel molek sudah keropos mengakibatkan molek keluar jalur rel.


Kondisi ini diperparah dengan track yang ekstrim di antara jurang dan tebing. Miris, ketika rel molek putus akibat longsor dibeberapa titik, Desa Lebong Tandai, Napal Putih, Bengkulu Utara jadi terisolir. Karena, molek atau kereta kecil itu merupakan satu-satunya sarana transportasi dari dan ke kawasan tambang emas, Lebong Tandai.

Rel molek yang tertimbun longsor maupun yang patah akibat longsor memang sudah diperbaiki warga. Namun, kondisi relnya sudah memprehatinkan. Ketika longsor, warga desa terpaksa jalan kaki keluar maupun ketika pulang ke desa.

Lokomotif Molek

Molek atau Motor Lori Ekspress, satu-satunya angkutan umum untuk menuju Desa Lebong Tandai dari Desa Air Tenang, Kecamatan Napal Putih, Kabupaten Bengkulu Utara, begitu juga sebaliknya.

Molek tak seelok namanya. Bentuknya mirip dengan kotak peti kemas. Namun lebih kecil, sekira 3x1 meter. Seluruh rangka dan atapnya dari kayu yang menyelubungi besi bekas lori kereta beroda empat. Molek ini memiliki 4 roda besi dengan jarak masing-masing sumbu roda sekira 1,25 Meter. Panjang badannya tidak kurang dari 6 Meter dengan lebar badan Molek sekira 1,5 Meter.

Roda Kereta Molek
Untuk menjalankan Molek dipandu seorang Masinis. Di mana Masinis mengoperasikan serta mengatur kecepatan mesin diesel. Namun, tidak bisa mengatur Molek untuk berbelok. Kecepatan Molek pun hanya kisaran 10-15 km/jam. Sebab Molek juga memiliki 6 gigi, termasuk gigi mundur. Bahkan, setiap Molek terdapat setir second, gas injak yang dimodifikasi dan rem prodo.

Moda transportasi Molek juga dilengkapi bak komling dari mobil Suzuki Futura atau bak mobil Zebra. Di mana Molek tersebut sama halnya dengan mobil lainnya yang memiliki gigi. Bagi warga, Molek bisa dipergunakan untuk apa pun. Mulai dari mengangkut orang, hewan, dan barang bahkan sampai gelondongan kayu panjang yang berdiameter sampai setengah meter.


Tak diketahui persis siapa yang memberi nama Molek. Namun, kendaraan yang mengandalkan rel atau tram sebagai lintasannya ini telah berumur lebih dari seabad untuk rangka lori dan relnya yang mengular sepanjang 33 kilometer menembus pedalaman hutan Lebong Tandai.

Transportasi ini melewati jalur sejauh 35 kilometer dari Air Tenang sampai dengan Lebong Tandai dengan waktu tempuh rata-rata selama lebih kurang 4,5 jam. Molek berangkat pada pukul 07.00 WIB dari Stasiun Air Tenang hingga Stasiun Ronggeng. Saat ini tidak banyak molek yang beroperasi. Biasanya transportasi ini berangkat berdasarkan pesanan. Pesanan biasanya datang dari masyarakat Lebong Tandai yang ingin keluar desa untuk membeli kebutuhan pangan. Penumpang harus membayar Rp 25.000 per orang, di luar barang bawaan. Itu pun biayanya sampai di Stasiun Ronggeng saja. Untuk menaiki molek tujuan Sumpit, warga juga dikenai biaya yang sama. Jadi, untuk satu kali perjalanan dari Air Tenang ke Lebong Tandai, ongkos per orang mencapai Rp 100.000.

Molek bukanlah yang pertama ada di Lebong Tandai. Sejatinya, molek lahir dari keterbatasan warga di pelosok hutan sepeninggal Belanda dan sebuah perusahaan milik Australia yang mengeruk habis emas di tanah mereka.

Kereta Api Uap milik perusahaan Mijn Maatschappij Simau-Belanda pada tahun 1910 ketika membuka tambang emas di Desa Lebong Tandai Bengkulu Utara/internationalsteam.co.uk
Dahulunya, ketika Belanda masuk ke perut hutan di Kecamatan Napal Putih Bengkulu Utara untuk berburu urat emas pada tahun 1901. Akses jalan yang paling memungkinkan untuk menyesuaikan topografi daerah hanyalah kereta api. Fungsinya untuk mengangkut emas dan orang. Karena itu, ribuan kuli dari Jawa dipaksa membuat rel kereta yang melipir bukit, menyeberang sungai bahkan menembus batu hingga sepanjang 33 kilometer dari Desa Air Tenang hingga ke Desa Lebong Tandai.


Kala itu, mengutip dari dokumen internationalsteam.co.uk, pada masa Belanda atau tepatnya pada tahun 1910, usai pembangunan rel, setidaknya ada lebih dari 12 kereta api yang dipergunakan mereka sebagai alat transportasi barang dan orang. Namun sayang, semuanya hilang tanpa bekas lantaran dijarah penduduk ketika Belanda diusir Jepang pada tahun 1949. Sampai kemudian di tahun 1980, masuklah kembali perusahaan milik Australia yang bernama PT Lusang Mining.

Oleh mereka, transportasi kemudian dihidupkan kembali. Tak ada laporan rinci berapa banyak kereta yang dimiliki perusahaan yang juga berelasi dengan Presiden Soeharto kala itu. Untuk orang, emas dan barang berbeda. Cuma yang jelas Lusang Mining sudah memakai lokomotif bermesin Diesel atau Lodis (Lokomotif Diesel) bukan uap seperti Belanda dulu. Tapi sekali lagi disayangkan. Ketika Lusang Mining bangkrut pada tahun 1995, sejumlah kereta itu pun juga ikut hilang dijarah oleh penduduk. Dokumen foto terakhir mengenai bentuk kereta itu hanya ada pada tahun 2012, yang diambil oleh seorang warga Belanda Gerard de Graaf. Foto itu jugalah yang kini tersimpan dalam laman internationalsteam.co.uk.


Sejak hilangnya PT Lusang Mining memang muncul praktik vandalisme warga dengan menjarah sebagian besar besi kereta untuk dijual kembali. Yang tersisa, akhirnya cuma segelintir rangka lori beserta rodanya. Dari situlah kemudian ada beberapa warga mencoba memodifikasinya dengan menanamkan mesin mobil di bagian tengahnya. Lalu untuk memutar roda besi kereta dipergunakanlah dua rantai besar yang terhubung dengan gear. Dari situlah kemudian muncul istilah Molek.

Kehadiran molek pada awalnya cuma iseng, sisa kereta lama di modifikasi sehingga bisa jalan, akhirnya jadilah seperti sekarang (molek). Sejauh ini, Molek dengan segala keterbatasannya akhirnya menjadi satu-satunya andalan warga untuk bepergian ke Napal Putih. Dengan lintasan rel sepanjang 33 kilometer yang sudah memprihatinkan, Molek pun tertatih-tatih. Setidaknya butuh waktu antara 4-6 jam hanya untuk bisa mencapai Desa Lebong Tandai dari Napal Putih. Itu pun bergantung dengan kondisi cuaca. Sebab jika hari hujan, sering terjadi longsor atau pohon tumbang. Sehingga membuat waktu perjalanan makin lama.




Jangan berharap kenyamanan lebih ketika menumpang Molek. Sebab dengan ukurannya yang mini, membuat semuanya mesti dibuat nge-pas. Penumpang misalnya, hanya mampu membawa maksimal 12 orang. Sepuluh untuk penumpang dan sisanya buat sopir dan kernet.

Kursi duduknya terbuat dari papan panjang yang dibungkus kulit dan busa seadanya. Malah kadang-kadang cuma papan saja dengan penumpang saling membelakangi. Molek tidak memiliki kaca jendela pelindung di samping kiri dan kanannya. Kecuali bagian depan.Itu pun gunanya untuk melindungi penumpang di bagian depan sopir ketika Molek menerobos lintasan rel yang kini banyak tertutup duri dan semak menjuntai. Hebatnya Molek. Sopirnya tidak di depan, jadi di tengah.

Selain itu, karena jarak kursi yang begitu dekat, jadi tidak ada cukup ruang untuk merenggangkan kaki. Apalagi buat penumpang yang berbadan jangkung akan jadi hal yang lebih merepotkan.
Sebab dengan atap molek yang rendah. Maka suka tidak suka sepanjang perjalanan, kepala terpaksa agak membungkuk hingga tiba di tujuan.

Belum lagi soal kebisingan. Mesin Molek yang merupakan modifikasi mesin mobil berbahan bakar solar posisinya persis berada di tengah Molek atau tepatnya di bawah kaki penumpang. Karena itu bisa dipastikan suaranya sangat berisik dan membuat panas kaki mereka yang duduk berdekatan.
Namun demikian. Apa pun itu, Molek tetaplah menjadi kendaraan termewah di Lebong Tandai. Kebisingan dan kecemasan ketika Molek melintas rel yang rusak sementara jurang-jurang dalam di bawahnya, menjadi pengalaman tak terlupa siapa pun yang berkunjung ke desa yang dijuluki sebagai Batavia Kecil ini.

Besar harapan warga setempat agar ada jalan alternatif ke Lebong Tandai. Dengan itu, maka keterisoliran desa lumbung emas ini akan terbuka. Molek yang selama ini menjadi andalan, bagi mereka sudah tidak memungkinkan lagi. Besi-besi roda dan rel kereta itu kini makin uzur dan sudah berbahaya untuk dilintasi. Namun karena belum ada pilihan akhirnya duduk di Molek yang berdekatan dengan maut itu pun jadi pilihan.

Stasiun Lebong Tandai


Lebong Tandai adalah wilayah pertambangan emas yang masih beroperasi hingga kini. Sejak periode kolonial Belanda, wilayah ini sudah diekploitasi. Hal ini dibuktikan dengan adanya bangunan yang dibuat pada 1921.


Kereta Molek saat memasuki Stasiun Lebong Tandai
Desa yang berbatasan langsung dengan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) ini masuk daerah yang tak bertuan, tidak ada atas hak yang syah bagi masyarakat sebagai penghuni desa. Sejak disahkan sebagai desa dengan total luasan lebih kurang 2.300 Ha, Area peruntukan lain (APL) sampai dengan sekarang tidak ada pemilik yang pasti.

Emplasemen Stasiun Lebong Tandai
Hampir seluruh warga yang tinggal di Lebong Tandai mendiami perumahan eks perusahaan tambang mulai dari tambang jaman Belanda (Mijnbouw Matschappij Simau), perusahaan tambang rakyat, PT Lusang Mining sampai dengan PT Lebong Tandai.


Stasiun Ronggeng


Stasiun Ronggeng merupakan stasiun tempat transit penumpang untuk pergantian kereta molek. Dari desa keberangkatan, Air Tenang ke Stasiun Ronggeng, penumpang mesti membayar Rp25 ribu. Lalu dari Ronggeng ke Lebong Tandai bayar lagi dengan harga serupa.

Proses pergantian kereta penumpang di Stasiun Ronggeng

Jangan bayangkan tempat ini seperti stasiun kereta di Jakarta atau dimana pun. Sebab bentuknya hanya sebuah tanah lapang di tengah hutan dengan dua bangunan terbuat dari papan untuk tempat sekadar berteduh menunggu molek pengganti.

Mengenai nama Ronggeng. Muasalnya karena tanah lapang ini pernah digunakan oleh Belanda pada masa lalu untuk menonton seni tari Ronggeng bersama para pekerja dan warga. Dari situlah muncul nama Stasiun Ronggeng, yang kini berfungsi sebagai tempat transit penumpang.


Stasiun Molek (Air Tenang)

Stasiun Molek (sebutan bagi kereta lori berukuran 5 x 1 m, bermesin diesel 10 PK yang bermuatan maksimal 10 penumpang) merupakan lokasi keberangkatan kereta molek di Desa Air Tenang, Kecamatan Napal Putih, Bengkulu Utara. Stasiun ini terletak diujung desa, dipinggir Sungai Ketahun. 

Stasiun Air Tenang.
Banyak Molek yang menunggu penumpang namun rata-rata terminal ini ramai pada hari Senin dan Kamis karena pada hari itu para penambang dari luar Kabupaten Bengkulu Utara misalnya dari Kabupaten Lebong dan Rejang Lebong berdatangan menuju desa Lebong Tandai. Ongkos per-orang adalah Rp 20.000. 

Di stasiun Air Tenang, para ‘Masinis’ Molek menunggu penumpang hingga penuh. Selain itu, perjalanan menuju Batavia Kecil Masinis memilih berjalan beriringan. Tujuannya, untuk mempermudah perjalanan jika ada hambatan.

Jaringan Rel Tambang di Lebong Denok

Kabupaten Lebong merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Bengkulu yang beribukota di Muara Aman. Kawasan ini dikelilingi barisan Taman Nasional Kerinci Sebelat (TNKS). Dari sinilah pusat penghasil emas dan eksploitasi pertambangan di Bengkulu dimulai. Perburuan emas di Lebong, dilakukan jauh sebelum kedatangan kolonial Belanda. Perburuan emas telah dilakukan oleh Raja Paga Ruyung Sultan Daulat Mahkota Alamsyah untuk mencari daerah baru yang tanahnya mengandung emas bisa jadi menjadi factor utama yang menjadikan Raja Mawang yang berdarah Minang memerintah Lebong meskipun di ceritakan hanya dalam waktu yang singkat sebelum digantikan oleh Ki Karang Nio. 

Dominasi kelompok elite dalam hal ini raja dalam penguasaan emas tergerus ketika Perusahaan tambang Belanda, mulai melakukan kegiatan penambangan di Bengkulu setelah ditemukannya formasi Lebong pada tahun 1890. 

Penambangan emas tertua di antaranya dilakukan oleh perusahaan Mijnbouw Maatschappij Redjang Lebong dan Mijnbouw Maatschappij Simau yang berada di Lebong, Bengkulu. Kedua perusahaan itu merupakan penyumbang terbesar ekspor emas perak Hindia Belanda. Misalnya, pada tahun 1919 perusahaan Mijnbouw Maatschappij Redjang Lebong menghasilkan 659 kilogram emas dan 3.859 kilogram perak, dan perusahaan Mijnbouw Maatschappij Simau menghasilkan 1.111 kilogram emas dan 8.836 kilogram perak.

Setidaknya, dua perusahaan ini berhasil meraup 130 ton emas selama berproduksi kurang dari setengah abad (1896-1941). Jejak-jejak sisa penambangan yang dilakukan Belanda di Bengkulu masih dapat ditemui di Ulu Ketenong, Tambang Sawah, Lebong Donok, Lebong Simpang, Lebong Tandai, Kabupaten Lebong.

Sama halnya dengan Lebong Tandai, Area pertambangan di Lebong Denok dihubungkan dengan jaringan rel sempit. Bahkan, lokomotif yang digunakan sudah ada yang menggunakan tenaga listrik. Sayang informasi mengenai jaringan rel disini sangat minim berbanding terbalik dengan jalur rel Lebong Tandai yang masih digunakan warga hingga kini.

Lokomotif listrik sudah digunakan dalam jaringan rel Lebong Denok
Area Pertambangan Lebong Denok


#lebongtandai #lebongdenok #airnapal #lebong #sejarahbengkulu #tambangemasbengkulu #molek #lori #keretatambang #bengkulu #MijnbouwMaatschappijSimau #MijnbouwMaatschappijRedjangLebong #MiningintheNetherlandsEastIndies #LusangMining #relsempitindonesia

1 komentar: