Minggu, 17 Januari 2016

PELABUHAN TELUK BAYUR, PELABUHAN YANG TERINTEGRASI DENGAN REL KERETA DI KOTA PADANG

Suasana komplek dermaga Teluk Bayur. Foto: KITLV



Ketika Era Kolonial Belanda, penyebutan nama pelabuhan Teluk Bayur adalah Emmahaven (Pelabuhan Emma), merujuk ke Ratu Emma. Pelabuhan Emmahaven adalah salah satu pelabuhan di Pulau Sumatera dibangun Belanda yang terintegrasi dengan jaringan rel.



Pelabuhan Emmahaven dibangun pada tahun 1890 dan baru selesai di tahun 1895 alias pengerjaannya memakan waktu 5 tahun. Ini sekaligus menunjukkan bahwa Belanda dalam mengerjakan proyek-proyek infrastruktur sangat ketat, tidak boleh melenceng dari bestek. Hasilnya, peninggalan-peninggalan infrastruktur dan bangunan Belanda masih kuat sampai sekarang, seolah tak lapuk dimakan zaman.

Jalur rel menuju Pelabuhan Emmahaven. Foto: KITLV


Pembangunan dan pelebaran pelabuhan ini diharapkan dapat meningkatkan perdagangan. Sebelumnya dibutuhkan waktu sampai berpuluh tahun untuk meyakinkan pemerintah pusat Belanda mengenai pentingnya renovasi dan pelebaran Pelabuhan Ratu Emma itu. Den Haag saat itu menganggap letak pelabuhan ini terlalu jauh dan kalah penting dibandingkan Batavia (Tanjung Priok).



Sebelumnya mulai 1850 sudah dirintis pelayaran langsung Batavia-Padang dengan kapal uap. Padang terbukti kemudian mempunyai cukup potensi untuk berkembang. Untuk mendorong perkebunan dan perdagangan sektor kopi, Pemerintah Belanda saat itu menurunkan pajak di Ranah Minang untuk komoditas kopi. Sebagai syaratnya, penduduk Minang harus menjual panen kopinya hanya kepada gouvernement (pemerintah).
Dermaga Emmahaven. Foto: KITLV


Pelabuhan Emmahaven dibangun dengan menyediakan empat buah dermaga, empat buah gudang besar, satu buah gudang dalam ukuran sedang, satu kantor pemeriksaan barang, satu kantor havenmeester, satu kantor bea cukai, kantor agen perusahaan perkapalan. Masih dalam kompleks pelabuhan ini juga dibangun stasiun kereta api yang menghubungkan pelabuhan ini dengan kota Padang (Verslag Van de Kamer... 1911 : 38). Luas areal pelabuhan ketika baru selesai dibangun ini sekitar 1 km2 dan ke arah laut terdapat dua pemecah gelombang yang masing-masing mempunyai panjang 260 meter dan 900 meter („Nederlandsch Indische Havens...1920: 64).
Bongkar muat KA Batubara di Emmahaven. Foto: KITLV


Tidak jauh di luar komplek pelabuhan dibangun depot penumpukan dan pengisian batu bara. Depot pengisian batu bara yang ada di Pelabuhan Emmahaven ini merupakan yang tercanggih di Asia Tenggara untuk waktu itu (Lekkerkerker 1916: 293). Ada tiga corong pengisian batu bara di pelabuhan ini dengan total kapasitas 280 ton per jam. Dua corong pengisian dengan dengan masing‐masing berkapasitas 120 ton per jam dan yang satu lagi berkapasitas 40 ton per jam (“Nederlandsch Indische Havens... 1920:65).



Sejak diresmikan hingga tahun 1906 pelabuhan ini selalu ditingkatkan kondisinya antara lain dengan memperdalam kolam pelabuhan. Kedalaman pelabuhan yang semula hanya 7,5 meter diperdalam  menjadi 10 meter lewat tiga kali pengerukan pada tahun 1901, 1903 dan 1905 (Emmahaven...1909: 827). 
Emplasemen Stasiun Pelabuhan Teluk Bayur. Foto: KITLV

Pembangunan Emmahaven merupakan klimaks dari keberadaan pelabuhan di Kota Padang. Dalam kurun waktu yang tidak begitu lama, emmahaven memang berhasil menjadi sebuah prasarana transportasi laut terpenting di bagian barat Sumatera khususnya dan seluruh Pulau Andalas ini pada umumnya. Namun, kejayaan itu tidak begitu lama dinikmati pelabuhan yang kemudian dikenal dengan nama Teluk Bayur ini. Beberapa saat setelah Emmahaven diresmikan, pemerintah Hindia Belanda juga membangun Pelabuhan Sabang yang juga dirancang sebagai depot pengisian batubara bagi kapal-kapal yang ingin melayari Samudera Hindia. 

Seiring dengan itu, Belawan juga tampil menjadi pelabuhan laut yang penting karena banyaknya komoditas perdagangan yang bisa dimuat dan dibongkar di sana serta tampilnya Medan sebagai kota niaga yang terkemuka. Hal ini menyebabkan kapal‐kapal Eropa yang semula menyinggahi Emmahaven mengalihkan rutenya ke Belawan. Last but not least, semakin berkurangnya aktivitas perekonomian di Sumatera Barat pada akhir dekade 1920‐an juga membuat semakin sedikitnya kapal antar samudera yang singgah di Emmahaven. Akhirnya depresi tahun 1930‐an menjadi faktor pemicu utama mundurnya kegiatan Pelabuhan Emmahaven dan juga Pelabuhan Muaro (Gusti Asnan 2007: 311). Sejak itu kedua pelabuhan ini tidak pernah lagi mengalami kejayaannya seperti di masa‐masa dulu. 

Masa-masa awal pembangunan jaringan rel di Emmahaven. Foto: KITLV

Tampak dari atas jalur rel menuju Pelabuhan Emmahaven. Foto: KITLV

Kereta Barang sedang melakukan aktivitas bongkar muat di Emmahaven. Foto: KITLV

Dermaga Emmahaven yang dilengkapi rel. Foto: KITLV
Kapal uap sedang bersandar di samping jalur rel dermaga.
Lokomotif uap sedang menarik rangkaian gerbong batubara di Pelabuhan Teluk Bayur. Foto: Ted Polet
Jaringan Rel di Pelabuhan Teluk Bayur. Foto: Ted Polet

Bersambung...





Tidak ada komentar:

Posting Komentar